Sikap dan Seruan Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (SINDIKASI) Terhadap Pemilihan Umum 2024

Sikap dan Seruan Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (SINDIKASI) Terhadap Pemilihan Umum 2024

SINDIKASI, 13 Februari 2024 - Tahun ini kita dihadapkan pada Pemilihan Umum (Pemilu) yang krusial. Kita telah lama melihat kemerosotan demokrasi jauh sebelum Pemilu tiba. Elit politik menggunakan kekuasaan mereka untuk kepentingan pribadi, seringkali mengesampingkan hak-hak rakyat, terutama para pekerja. Kemerosotan demokrasi bisa dilihat dari pemaksaan lahirnya kebijakan eksploitatif bernama Undang-undang Cipta Kerja yang memudahkan pemutusan hubungan kerja (PHK), melanggengkan upah murah, dan meluaskan praktik outsourcing yang semakin membuat nasib kelas pekerja jauh dari kesejahteraan. Belakangan, demokrasi dan konstitusi juga diinjak-injak melalui praktik nepotisme dan penyalahgunaan kekuasaan.

Demokrasi yang kita harapkan kini dikuasai segelintir elit yang membuat tangan-tangan negara tak mampu menopang beban hidup pekerja rentan. Tak ayal, berbagai persoalan muncul, merusak, dan bertahan dalam keseharian hidup pekerja. Beberapa yang kita lihat, mulai dari semakin tidak idealnya norma kerja layak dalam hubungan industrial hingga sulitnya pekerja lepas diakui dalam struktur hukum ketenagakerjaan. Di saat yang sama, pekerja sulit mendapatkan hidup layak lantaran harga beli dan sewa hunian yang begitu tinggi, mahalnya akses berbagai fasilitas esensial seperti daycare, hingga transportasi publik yang tidak bisa diandalkan dan belum cukup inklusif. Ini bertambah buruk ketika kesehatan mental dan kesetaraan gender masih terpinggirkan dalam lingkup sistem ketenagakerjaan kita.

Sementara itu, SINDIKASI menilai tidak ada kandidat presiden dan wakil presiden yang menawarkan terobosan berarti untuk memperbaiki masa depan pekerja, termasuk pekerja industri media dan kreatif. Solusi yang ditawarkan hanya bersifat parsial, bahkan berpotensi menimbulkan masalah baru. Ketiga kandidat tidak menawarkan upah layak nasional maupun peningkatan program jaminan sosial ketenagakerjaan, dan penguatan gerakan kelas pekerja sehingga berpotensi melestarikan upah murah serta kesengsaraan bagi pekerja. Ini tak terlepas dari adanya dukungan dan bayang-bayang oligarki di semua kubu kandidat.

Berdasarkan analisis di atas, SINDIKASI khawatir akan muncul lebih banyak kebijakan negara yang merugikan kelas pekerja dan mengancam demokrasi di masa mendatang. Di saat itulah, gerakan sosial akan kembali mengandalkan perlawanan jalanan sebagaimana terjadi sepanjang sepuluh tahun terakhir. Intimidasi, kriminalisasi, dan serangan balik terhadap gerakan sosial sangat mungkin berulang dan memburuk pada periode pemerintahan berikutnya. Tanpa intervensi politik elektoral dari gerakan sosial saat ini, SINDIKASI khawatir DPR akan kembali dikuasai partai politik pendukung pemerintah sehingga mekanisme checks and balances kembali mandul akibat ketiadaan kubu oposisi yang kuat.

Oleh karena itu, SINDIKASI menilai perlu adanya kekuatan oposisi di DPR RI agar bisa mengontrol pemerintah sekaligus mendorong lahirnya undang-undang yang pro kelas pekerja. Representasi kelas pekerja di parlemen juga merupakan hal penting mengingat saat ini enam dari sepuluh Anggota DPR RI merupakan pengusaha. SINDIKASI menilai DPR RI perlu lebih banyak diisi oleh anggota legislatif berlatar belakang buruh pabrik, pekerja rumah tangga, supir ojek online, perempuan, minoritas gender, pemuda, aktivis dari kelompok progresif yang memiliki komitmen kuat terhadap perjuangan kelas pekerja, pemajuan demokrasi, hak asasi manusia, inklusivitas sosial, dan mendukung penguatan gerakan rakyat. Dengan demikian, Pemilu 2024 dapat menjadi penghukuman politik bagi partai-partai politik yang didukung oligarki dalam melahirkan undang-undang anti kelas pekerja seperti UU Cipta Kerja.

SINDIKASI juga menyoroti menyempitnya makna partisipasi politik rakyat yang hanya dinilai dalam bentuk keikutsertaan dalam hari pencoblosan. Seakan-akan, hanya dalam gegap gempita Pemilu, demokrasi harus—dan dapat dirayakan, serta hanya dalam momen ini saja rakyat dilibatkan. Pandangan semacam ini justru merendahkan dan mengerdilkan kekuatan kita sebagai rakyat. Dari Istana Negara hingga tubuh kita, setiap detik, politik selalu bekerja. Ia bukan sesuatu yang terpisah dari realita hidup kita sehari-hari sebagai individu maupun kolektif, bukan juga hanya sebagai sesuatu yang elitis dan tidak terjangkau. Kami menyadari, ada harga mahal yang harus dibayar rakyat setiap Pemilu diselenggarakan. Tidak hanya berkaitan dengan anggaran negara yang diputar sana-sini demi kepentingan mereka, tetapi juga kekuatan rakyat yang dipecah-belah atas nama 01, 02, dan 03. Lebih dari itu, jajaran pemerintah selalu melupakan bahwa menempatkan kepentingan dan kesejahteraan rakyat adalah tugas utamanya. Fakta-fakta ini bertebaran di mana-mana, dengan gamblang menganga—memperlihatkan betapa korupnya rezim dan transaksi kekuasaan di atas sana. Tepat di sinilah, keterlibatan politik rakyat yang proaktif dan kritis harus bekerja lebih keras dan berkali lipat.

Hidup kita tak berhenti di Pemilu, demikian pula persoalan sistemik yang makin menghabiskan nafas rakyat pekerja tidak akan menemui solusi. Pemilu adalah alat demokrasi yang perlu rakyat gunakan sebagai ruang berkontemplasi. Sudahkah harga pangan terjangkau? Apakah kondisi pekerja membaik?

Berapa banyak kenaikan Uang Kuliah Tunggal? Siapa saja yang selama ini dikriminalisasi karena mengkritik penguasa-penguasa bebal? Apa-apa saja yang menjadi lebih baik atau justru lebih buruk? Dan akankah serentetan kekhawatiran dan keterpurukan rakyat terulang dengan berganti wajah penguasa? Ataukah rezim-rezim korup yang sama akan tetap berkuasa? Imajinasi tentang masa depan kita bersama pascapemilu menjadi sesuatu yang perlu dibangun dengan segera. Kita bukan sedang menciptakan mimpi yang mustahil untuk digapai, tetapi melahirkan gagasan keterlibatan politik yang penuh dengan kesadaran dan solidaritas. Melibatkan diri dalam politik keseharian yang lebih bermakna dan tepat sasaran adalah hal yang perlu dikerjakan bersama dengan berbagai cara. Kita bisa perlahan menemukan solusi kalau mau menerima fakta. Untuk menerima fakta, kita perlu menanggalkan kacamata, menggunakan rasa kemanusiaan juga logika. Membuka dialog dengan sesama, pastikan semua bisa bertahan di tengah keegoisan para penguasa.

Berdasarkan situasi dan kondisi di atas, Rapat Koordinasi Nasional SINDIKASI yang diikuti oleh Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal Dewan Pengurus Nasional; Majelis Pertimbangan Organisasi; Majelis Etik; Ketua dan Sekretaris Wilayah Dewan Pengurus Wilayah Jabodetabek; Ketua dan Sekretaris Dewan Pengurus Wilayah Yogyakarta menyerukan kepada seluruh Anggota SINDIKASI dan segenap kelas pekerja Indonesia agar:

  1. Mengambil sikap kritis terhadap presiden dan wakil presiden terpilih mengingat minimnya program pro kelas pekerja dan tersebarnya partai politik pendukung UU Cipta Kerja di belakang para kandidat.
  2. Mendukung calon anggota legislatif yang berlatar belakang kelas pekerja, memiliki agenda perjuangan kelas pekerja, serta siap mengambil sikap kritis dan oposisi terhadap presiden-wakil presiden terpilih.
  3. Mengawal dan menagih janji-janji politik pascapemilu kepada presiden-wakil presiden dan anggota legislatif terpilih terutama yang menyangkut isu kelas pekerja.
  4. Memandang dengan kritis politik elektoral yang selama ini menjadi jalur tunggal untuk mengakomodasi aspirasi rakyat sembari mendesak perbaikan sistem politik Indonesia agar lebih demokratis, adil, dan mampu mendorong perubahan hidup kelas pekerja.
  5. Menguatkan gerakan pekerja lintas sektor bersama gerakan masyarakat sipil di tiap tingkat wilayah demi memastikan pemajuan demokrasi di Indonesia yang didorong oleh kekuatan rakyat terorganisir.

SERIKAT PEKERJA MEDIA DAN
INDUSTRI KREATIF UNTUK DEMOKRASI

Samali Ujung No. 20 B, RT.4/RW.9 Kalibata, Pancoran, Jakarta Selatan