Perppu Cipta Kerja Bukti Watak Otoriter Pemerintahan Jokowi, Buat Sengsara Pekerja
JAKARTA – Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (SINDIKASI) menolak keras Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) nomor 2 tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Ciptaker). SINDIKASI menilai Penerbitan Perppu Ciptaker telah mencederai konstitusi dan demokrasi hingga berpotensi kuat menyengsarakan pekerja.
“Secara substansi, Perppu Cipta Kerja pada dasarnya hanya mengadopsi isi Undang-Undang Cipta Kerja yang selama ini ditolak SINDIKASI. Undang-Undang Cipta Kerja telah melucuti sejumlah perlindungan dan hak pekerja untuk hidup layak, di antaranya dengan memperpanjang jam kerja termasuk waktu lembur, memperpanjang status kontrak, dan mengurangi perhitungan pesangon. Perppu Ciptaker yang sarat kepentingan penguasa dan pengusaha itu semakin meneguhkan ketiadaan perlindungan bagi pekerja,” ujar Ketua SINDIKASI, Nur Aini.
Penerbitan Perppu Ciptaker pada 30 Desember 2022 sekali lagi menunjukkan watak otoriter dan sewenang-wenang Presiden Joko Widodo dalam menerbitkan peraturan hukum. Perppu Ciptaker terbit setelah Mahkamah Konstitusi memutuskan Undang-Undang Omnibus Law Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat dan cacat formil pada 2021. Berdasarkan putusan tersebut, MK mengamanatkan UU Cipta Kerja harus direvisi paling lama dua tahun sejak jatuhnya keputusan atau sebelum 25 November 2023. Namun, Presiden Jokowi memilih menggunakan kekuasaannya untuk menerbitkan Perppu ketimbang melaksanakan keputusan MK dengan dalih adanya kegentingan yang memaksa.
Krisis global sebagai alasan penerbitan Perppu Ciptaker tidak mendesak dan genting. Hal itu terlihat dari kondisi ekonomi Indonesia pada 2022 berdasarkan Kementerian Keuangan masih resilien dan kuat dengan potensi pertumbuhan 5,3 persen dan diproyeksikan tumbuh 5,0 persen pada 2023. Angka pertumbuhan ekonomi Indonesia itu masih jauh lebih baik dibanding proyeksi ekonomi dunia berdasarkan penilaian IMF sebesar 3,2 persen pada 2022 dan 2,7 persen pada 2023. Atas kondisi itu, Perppu Cipta Kerja tidak memenuhi ketentuan pasal 22 ayat 1 UUD 1945 yang memberikan kewenangan presiden untuk menerbitkan Perppu dalam keadaan kegentingan yang memaksa.
Keberadaan Perppu Ciptaker setebal 1.117 halaman itu menambah ketidakpastian hukum bagi pekerja. Ketentuan penutup Perppu Ciptaker Pasal 184 menyatakan peraturan pelaksanaan (PP) UU No 11/2020 tentang Cipta Kerja tetap berlaku. Akan tetapi, pasal 185 pada Perppu Ciptaker menyatakan UU No 11/2020 tentang Cipta Kerja dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Jika hal itu dilaksanakan, empat PP klaster ketenagakerjaan UU Cipta Kerja yaitu PP No 34 Tahun 2021 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing; PP No 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja; PP No 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan; dan PP No 37 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan tidak memiliki dasar undang-undang di atasnya.
“Publik berhak bertanya bagaimana mungkin peraturan pelaksanaan undang-undang dilaksanakan, tanpa ada undang-undangnya. Hal itu jelas memberikan ketidakpastian hukum bagi pekerja yang selama ini berhadapan dengan kasus pelanggaran hak ketenagakerjaan,” ujar Nur Aini.
Atas terbitnya Perppu No 2 tahun 2022 tentang Cipta Kerja, SINDIKASI menuntut:
- Cabut dan batalkan Perppu No 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja
- Cabut seluruh ketentuan Undang-Undang No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja
- Pemerintah dan DPR menggunakan kekuasaan dan kewenangannya untuk menerbitkan undang-undang yang melindungi pekerja dan menyusun perundang-undangan secara partisipatif serta demokratis, serta
- patuh dan taat pada konstitusi dalam setiap proses pembuatan produk hukum.