Hari Kebebasan Pers Dunia: Jurnalis di Indonesia Masih Dihantui Overwork, Hingga Kekerasan Seksual

Komite Pekerja Media SINDIKASI Mulyono Sri Hutomo juga menyoroti kekerasan yang dialami oleh para jurnalis di Palestina. SINDIKASI mengecam pembunuhan terhadap jurnalis dan meminta agar Israel dengan segera melakukan gencatan senjata.

Hari Kebebasan Pers Dunia: Jurnalis di Indonesia Masih Dihantui Overwork,  Hingga Kekerasan Seksual

SINDIKASI, 3 Mei 2024 - Dalam peringatan World Press Freedom Day atau Hari Kebebasan Pers Dunia, Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (SINDIKASI) menyoroti sejumlah tantangan yang dihadapi jurnalis, khususnya di Indonesia hari ini. Salah satu tantangan yang masih dihadapi oleh jurnalis di Indonesia adalah upah murah, terutama bagi mereka yang berstatus pekerja lepas (freelancer). 

Ketua Umum SINDIKASI Ikhsan Raharjo menjelaskan, riset SINDIKASI berjudul ‘Upah Layak Untuk Semua: Model Pengupahan Pekerja Lepas Industri Media dan Kreatif” menemukan bahwa upah yang diterima oleh freelancer termasuk tidak layak. Dalam riset tersebut terungkap rata-rata nilai upah per proyek mencapai Rp7.306.884 setiap bulannya, sementara rata-rata total pengeluaran mereka sebulan sebesar Rp15.444.557. Angka tersebut termasuk rata-rata biaya rata-rata biaya alat produksi utama sebesar Rp1.729.634 dan tambahan sebesar Rp632.619 yang biasa mereka tanggung sendiri dalam bekerja.

“Kami melihat bahwa belakangan semakin banyak perusahaan dan pemberi kerja yang mempekerjakan jurnalis dengan berbagai status hubungan kerja di luar aturan Undang-Undang Ketenagakerjaan. Kondisi ini kerap mengaburkan identitas jurnalis sebagai pekerja dan menambah kerentanan kerja. Dengan demikian, sulit bagi jurnalis-jurnalis di Indonesia untuk bisa memproduksi produk jurnalistik berkualitas,” ujar Ikhsan Raharjo. 

Anggota Divisi Media dan Komunikasi SINDIKASI Gabrella Sabrina juga menilai bahwa Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan juga seolah ‘menormalisasi’ jam kerja panjang pada jurnalis dan pekerja media dengan ‘melegalkan’ pemberian upah berdasarkan satuan hasil dan satuan waktu. 

“Karena upah jurnalis lepas bergantung pada jumlah berita yang diproduksi, maka para jurnalis lepas harus berusaha untuk menghasilkan sebanyak mungkin berita. Mereka juga tidak memiliki kekuatan negosiasi saat redaktur menugaskan mereka untuk meliput suatu peristiwa di luar jam kerja dan dalam keadaan apapun,” ujar Gabrella.

Dampaknya, banyak jurnalis, khususnya yang berstatus pekerja lepas harus kerja lebih dari 8 jam per hari. Padahal, WHO dan ILO telah memperingatkan bahwa jam kerja yang panjang menyebabkan 745.000 kematian akibat stroke dan penyakit jantung iskemik.

Gabrella juga menambahkan bahwa kurangnya sistem pendukung bagi jurnalis dapat menambah level stress dan mengancam kesehatan mental mereka.

“Pada May Day lalu, saya menyaksikan langsung ada seorang wartawan yang bertugas sebagai reporter sekaligus camera person, tugas untuk dua orang dibebankan kepada satu individu,” ujarnya.

Di tengah situasi tersebut, jurnalis dan pekerja media juga masih harus dihantui dengan kekerasan baik di ranah digital dan fisik. sebanyak 85,7% pernah mengalami kekerasan dalam kariernya sebagai jurnalis. Dari persentase tersebut, 70,1% mengalami kekerasan baik secara digital maupun fisik. 

“Jurnalis, khususnya jurnalis perempuan masih harus menghadapi berbagai bentuk kekerasan dan pelecehan seksual mulai dari catcalling, body shaming, hingga pelecehan seksual,” ujar Koordinator Divisi Gender dan Inklusi Sosial, Selira Dian. 

Komite Pekerja Media SINDIKASI Mulyono Sri Hutomo juga menyoroti kekerasan yang dialami oleh para jurnalis di Palestina. Hingga saat ini, menurut  data Reporters Without Borders (RSF) setidaknya 103 jurnalis telah terbunuh oleh serangan Israel di Gaza dalam lima bulan terakhir.  SINDIKASI mengecam pembunuhan terhadap jurnalis dan meminta agar Israel dengan segera melakukan gencatan senjata.

“Dalam momen World Press Freedom Day ini, SINDIKASI ingin mengajak semua untuk tidak hanya melihat kebebasan pers dalam dimensi saat memproduksi produk jurnalistik semata, tetapi juga kesejahteraan dan juga lingkungan yang bebas dari segala bentuk kekerasan, termasuk kekerasan seksual,” kata Hutomo.

SERIKAT PEKERJA MEDIA DAN
INDUSTRI KREATIF UNTUK DEMOKRASI

Jl. Tebet Timur I D No.1, Tebet, Kota Jakarta Selatan