Perentanan Pekerja Seni, Budaya, Kreatif, dan Media serta Masalah Hunian di Jogjakarta

SINDIKASI Jogja mendorong adanya pembangunan ekosistem ekonomi kreatif dan budaya yang melindungi dan menyejahterakan seniman, pekerja seni, dan pekerja ekonomi kreatif.

Perentanan Pekerja Seni, Budaya, Kreatif, dan Media serta Masalah Hunian di Jogjakarta
Dokumentasi Dewan Pengurus Wilayah SINDIKASI Jogja

SINDIKASI, 20 Mei 2024 - Dewan Pengurus Wilayah SINDIKASI Jogja menyelenggarakan diskusi “Kontrak-kontrakan: Masalah Hunian dan Perentanan Pekerja” pada Sabtu, 19 Mei 2024, di Kechub Community Hub, Taman Siswa, Jogjakarta. Dalam diskusi ini hadir empat pembicara yaitu Nurrul Nelwan sebagai perwakilan pekerja film, Adhytia Finlan sebagai perwakilan Divisi Riset SINDIKASI Jogja, serta Ciptaningrat Larastiti dan Khidir Marsanto sebagai perwakilan Komunitas Samadhya. Diskusi ini dimoderatori oleh Pychita Julinanda sebagai perwakilan Divisi Gender dan Keadilan Interseksional, SINDIKASI Jogja.

Nurrul Nelwan memaparkan sulitnya bertahan hidup sebagai pekerja film dengan rata-rata pendapatan sesuai upah minimum Jogjakarta yaitu Rp 2,2 juta. Pendapatan ini pun tidak pasti karena bergantung pada ketersediaan dana yang dimiliki oleh institusi seni tempatnya bekerja. 

“Sayangnya institusi seni pun bergantung pada skema pendanaan dari stakeholder nasional termasuk pemerintah dan internasional yang hanya berfokus pada produksi dan tampak di atas panggung/layar. Kerja-kerja hantu di balik layar seperti pengelolaan atau pengarsipan, seringkali tidak ditanggung oleh skema pendanaan seni budaya dan menempatkan pekerja seni di wilayah kerja ini dalam posisi rentan,” ungkap Nurrul. Kerentanan ekonomi dari para pekerja kreatif ini pun diperburuk dengan harga sewa hunian yang terus melambung di Jogjakarta setiap tahunnya sehingga menghabiskan sebagian besar gaji pekerja.

Pengalaman Nurrul ini diperkuat oleh paparan perwakilan Divisi Riset SINDIKASI Jogja Adhytia Finlan yang menilai harga tanah di Jogjakarta dibentuk oleh mekanisme pasar bebas yang semakin mahal sementara upah pekerja cenderung stagnan. Dia membandingkan upah minimum Jogjakarta 2024 sebesar Rp 2,1 juta dengan survei standar upah hidup layak yang dilakukan Majlie Pekerja Buruh Indonesia Daerah Istimewa Yogyakarta (MPBI DIY) pada 2023 yaitu Rp 4,1 juta.

“Mirisnya dengan harga tanah di Yogyakarta sekarang, orang-orang yang dapat memiliki properti hanyalah yang bergaji minimal Rp 16 juta per bulan. Kondisi ini menunjukkan bahwa perentanan pekerja di Jogjakarta bekerja secara sistemik, didukung oleh kebijakan upah minimum yang rendah hingga ketiadaan regulasi yang melindungi hak dasar pekerja seperti akses untuk hunian. Pekerja dikondisikan harus bersandar pada gaji yang tidak tetap untuk memenuhi hak dasarnya sebagai manusia,” tambah Finlan.

Dalam peringatan Hari Buruh Internasional 1 Mei lalu, SINDIKASI Jogja bergabung dengan MPBI DIY menyampaikan tiga belas tuntutan bersama yaitu pencabutan Undang-undang Cipta Kerja; peningkatan upah minimum provinsi dan kota minimal 15 persen; penyediaan transportasi layak bagi pekerja seperti busway murah dan rute yang melewati kawasan pabrik; pendistribusian SG dan PAG untuk perumahan pekerja; penghapusan sistem kontrak, outsourcing, dan pemagangan eksploitatif; pembangunan ekosistem ekonomi kreatif dan budaya yang melindungi dan menyejahterakan seniman, pekerja seni, dan pekerja ekonomi kreatif; pengesahan Rancangan Undang-undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga dan Rancangan Undang-undang Kesejahteraan Ibu dan Anak; pelindungan pekerja migran dari perdagangan manusia, kondisi kerja buruk, dan ketidakpastian hukum; penerapan Jaminan Sosial Semesta Seumur Hidup; penerapan pendidikan gratis; percepatan pelaksanaan reforma agrarian; dan penurunan harga kebutuhan sembilan bahan pokok.

Dalam diskusi ini, konteks tuntutan ini pun disertai dengan seruan kepada sesama pekerja agar terus membangun solidaritas dan keberanian untuk berkumpul memperjuangkan hak pekerja. Praktik membangun solidaritas ini dijalankan oleh Komunitas Samadhya melalui upaya mereka dalam hidup berkomunitas yang mengedepankan hunian dan tanah sebagai penunjang kehidupan bersama. Menurut Komunitas Samadhya, tanah seharusnya bukan sekedar sebagai komoditas jual beli untuk memperkaya segelintir orang namun dimiliki semua anggota komunitas dengan berbagai bentuk kontribusi.

 “Tanah dikelola berdasarkan konsensus. Persoalan seperti bahan makanan dan pengelolaan sampah pun diselesaikan bersama. Ini adalah bentuk ekonomi alternatif sebagai kritik atas mekanisme pasar bebas yang saat ini menguasai segala aspek kehidupan, termasuk tanah,” tutur Ciptaningrat Larastiti yang ditemani Khidir Marsanto dari Konunitas Samadhya.

Di akhir diskusi, SINDIKASI Jogja menyerukan lebih banyak lagi upaya penciptaan model-model ekonomi alternatif yang mendukung hak pekerja. Perubahan sistem tetap layak untuk dituntut kepada pemerintah sebagai penyelenggara negara dan pelayanan publik, khususnya dalam bentuk peningkatan upah minimum dan regulasi pasar yang lebih jelas. Namun SINDIKASI Jogja juga percaya di saat bersamaan, model ekonomi alternatif adalah dasar yang membentuk hak pekerja untuk menentukan nasibnya sendiri bersama-sama. Dengan upaya paralel antara perubahan sistem dan penciptaan otonomi serta kolektivitas pekerja, SINDIKASI Jogja percaya bahwa segala bentuk penindasan akan dapat dilawan bersama.

SERIKAT PEKERJA MEDIA DAN
INDUSTRI KREATIF UNTUK DEMOKRASI

Samali Ujung No. 20 B, RT.4/RW.9 Kalibata, Pancoran, Jakarta Selatan