Yang Tetap Memberimu Informasi di Kala Pandemi
Oleh Rinaldi Fitra Riandi
Jarum jam tepat menunjukkan pukul 16.00. Sehabis penugasan liputannya selesai, ia bergegas pulang menuju kontrakan indekosnya di wilayah Jakarta Barat. Tanpa tendeng aling, tubuh yang lelah dan sudah dibanjiri peluh, ia hempaskan di atas kasur. Ritual rebahan tersebut sudah sering Daryl – bukan nama sebenarnya – lakukan hampir sepuluh bulan, tepatnya sejak akhir 2019 silam, persis setelah ia bekerja menjadi wartawan di sebuah perusahaan media nasional ternama.
“To, nanti agak maleman ya kita ngobrol-ngobrol. Urang masih capek pisan euy,” tulis Daryl dalam pesan singkatnya kepada saya. “Oke siap. Santai aja weh,” balas saya.
Sekitar pukul 19.00, Daryl kembali mengirim pesan singkat untuk saya. Dalam pesan singkat itu, ia meminta saya menghubungi via telepon. Melalui telepon, Daryl menceritakan banyak hal terkait pekerjaannya selama masa pandemi Covid-19 ini. Apalagi berprofesi sebagai wartawan yang sudah barang tentu harus bisa bekerja pada setiap kondisi apapun, tak terkecuali di kala pandemi.
Sebagai profesi yang harus tetap bekerja di luar rumah untuk liputan, khususnya di isu pandemi, tantangan menjadi wartawan semakin berat. Menurut penuturan Daryl, kegiatan peliputan saat pandemi berubah durasi kerjanya. Jika biasanya Daryl bekerja 5 hari kerja dan 2 hari libur, kali ini majikannya mengubah durasi kerjanya sebanyak dua kal.
Pertama berubah menjadi 4 hari kerja dan 3 hari libur. Kedua, yang terbaru, berubah lagi menjadi 5 hari kerja dan 5 hari libur. Hal itu dilakukan atas dasar pertimbangan kesehatan pekerja media serta angka penularan Covid-19 wilayah DKI Jakara yang kian parah.
Dampak dari pandemi ini rupanya tak main-main. Perusahan media tempat Daryl bekerja pun mengalami kesulitan finansial. Bahkan, menurut Daryl, sampai saat ini belum ada pengangkatan pekerja tetap hingga waktu yang ditentukan. Selan itu, kebijakan yang cukup kontroversial dibuat demi menyelamatkan perusahaan dari krisis covid-19.
“Sempat ada pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap beberapa pekerja. Isu PHK-nya karena Covid-19 membuat pendapatan perusahaan dari iklan dan lain-lain berkurang,” tambah Daryl.
Daryl sendiri hingga kini masih berstatus pekerja kontrak. Ia dikontrak selama 1 tahun oleh majikan dari perusahaan media tempatnya bekerja. Dirinya menerima upah bulanan sebesar Rp 4.400.000, begitu pun dengan tunjangan hari raya (THR) yang diterima saat Idul Fitri.
Saat melakukan liputan, khususnya ke wilayah zona merah atau rawan Covid-19, Daryl dan pekerja lainnya dibekali alat pelindung diri, kacamata google, sepatu boots, disinfektan, dan sarung tangan. Apabila tidak ditugaskan ke wilayah zona merah, ia hanya diberi masker, pelindung wajah, hand sanitizer, vitamin serta obat-obatan. Tak lupa juga pemeriksaan rapid test dan swab test disediakan sesuai kebutuhan peliputan.
“Rencana ke depanya (dari perusahaan) akan ada pemeriksaan kesehatan berkala seperti swab test dan PCR,” ucap Daryl.
Kendati fasilitas kesehatan sudah dipenuhi oleh perusahaan, rasa takut dan paranoid selalu menggelayuti kepala Daryl. Terlebih lagi, saat awal pembatasan sosial berskala besar (PSBB) diterapkan di Jakarta. Alhasil, mau tak mau, ia hanya keluar indekosnya untuk bekerja dan untuk membeli makanan saja. Kala pemerintah melarang para perantau di Jakarta untuk mudik, selayaknya para perantau lain yang mengadu nasib di peraduan, ia harus merayakan hari raya Idul Fitri sendiri di Jakarta.
“Takut bangetlah yang pasti mah. Terus harus nahan rasa kangen ke keluarga yang ada di rumah, temen-temen, sama pacar. Pengen pulang kan gak bisa. Yang pasti takut gak ketemu lagi sama mereka,” tambah Daryl. Untuk mengobati kerinduan dengan keluarga dan kolega, Daryl pun melakukan lebaran secara daring dengan video call. Baginya hal tersebut cukup mengobati rasa rindu karena lama tak bertemu.
GERD & Berdesak-desakan
Suara sirine terdengar cukup nyaring di sekitar kantor Kejaksaan Agung, Jakarta. Mobil pemadam kebaran dan polisi terlihat sibuk mondar-mandir. Kobaran api besar perlahan membakar seluruh isi gedung kantor kejaksaan Agung. Informasi soal ludesnya kantor Kejaksaan Agung oleh si jago merah rupanya sampai di telinga Daryl. Tanpa butuh waktu lama, redaktur di kantor memanggilanya untuk segera meliput peristiwa tersebut.
Di lokasi sendiri, petugas pemadam kebakaran bersusah payah memadamkan api. Sedangkan aparat kepolisian mengumpulkan bukti dan informasi dari tempat kejadian perkara. Warga yang berada di lokasi tersebut ikut membantu petugas pemadam kebakaran dan beberapa lainnya sedang berbincang dengan aparat kepolisian. Tak ketinggalan para wartawan dari berbagai media yang sedang mewawancarai warga, petugas pemadam kebakaran, dan aparat kepolisian.
Dengan banyak kerumunan orang di sekitar kantor Kejaksaan Agung, mau tak mau Daryl harus mengambil gambar dari kameranya meski harus berdesak-desakan dengan para warga, petugas pemadam kebakaran, dan aparat kepolisian. Khususnya pada sesi wawancara, ia harus dekat dengan narasumber agar memperoleh suara dan gambar yang terbaik saat ditayangkan.
“Waduh kalau lagi kaya (di kantor Kejaksaan Agung) kemarin, kami (para wartawan) udah gak mikirin gimana caranya jaga jarak. Soalnya kita ngutamain momen berita dan dikejar waktu juga,” jelasnya.
Meski dilengkapi alat pelindung, sampai saat ini pun Daryl dan para wartawan lainnya sulit menemukan solusi terkait liputan yang lebih aman saat berada di lapangan, terutama di luar ruangan, yang mengatur adanya jarak antara wartawan dan narasumber.
Menjadi wartawan sendiri berarti juga harus siap ditugaskan kapan pun, bahkan hari libur dan tanggal merah. Begitu pula dengan Daryl. Dua hari sebelum saya menghubunginya, ia bercerita bahwa ia diberi tugas pagi-pagi buta oleh majikannya. Sehabis mandi dan ganti baju, ia bergegas menuju kantor pukul 05.00 pagi untuk mengisi daftar hadir dan mengecek perlengkapan liputan terlebih dahulu. Dua jam kemudian, ia bersama awak repoter lainnya menuju lokasi peliputan, dan narasumber yang diwawancara adalah seorang dokter di salah satu rumah sakit kenamaan di Jakarta.
Nahasnya, sang dokter yang menjadi narasumber sulit dijumpai. Dengan terpaksa Ia dan awak repoter lainnya harus menunggu 6 jam lamanya untuk mendapat narasumber. Usai wawancara dilakukan, Daryl mengeluhkan perih yang amat terasa sakit di bagian lambung kepada rekanya. Tak lama kemudian, ia diberi obat pereda sakit mag agar asam lambungnya tidak semakin menjadi akibat pola makan tak teratur.
“Itu (kemarin) saking buru-buru, jadinya lupa sarapan, soalnya tiap hari dibayangi tuntuntan pekerjaan. Mikirin dapat gambar sama liputan yang bagus” ujar Daryl.
Dengan upah bulanan Rp 4.400.000, Daryl menyisihkan Rp 550.000 untuk membayar sewa kontrakan indekos dan untuk makan Rp 600.000. Sebagian uangnya ia kirim pada orang tua- di kampung halamannya di wilayah Jawa Bara. Sementara itu sisa uangnya ia tabung untuk berjaga-jaga kalau ada kebutuhan tak terduga.
“Iya gimana lagi, dicukup-cukupin aja meski cuma dapat segitu. Rezeki mah Allah yang ngatur,” terang Daryl sambil tertawa kecil.