Tragedi Haymarket dan May Day

“The day will come when our silence will be more powerful than the voices you are throttling today”

Kembali ke abad 19, ketika revolusi industri meledak di Inggris dan sistem kerja upahan diimpor ke Amerika Serikat. Kondisi kerja pada saat itu begitu tidak manusiawi. Seorang buruh harus bekerja 10 bahkan hingga 16 jam sehari, terus mengulanginya lagi esok, lusa, dan seterusnya. Upah yang rendah adalah kenyataan lain yang harus dialami buruh. Sementara kematian dan cedera, tidak bisa tidak, menjadi hal yang wajar dalam kondisi kerja demikian.

Wacana untuk memperpendek jam kerja tanpa pemotongan gaji mulai bergullir sejak 1860-an, tapi baru 1880-an, tuntutan terbuka mengenai “8 jam kerja” disuarakan di ruang publik dengan gagasannya: 8 jam kerja, 8 jam istirahat, dan 8 jam rekreasi.

Pada periode tersebut, organisasi buruh memang telah tumbuh—nantinya jadi tulang punggung perjuangan penuntutan pengurangan jam kerja—yang dipelopori oleh kaum anarkis dan sosialis, seperti tercatat di situs Industrial Workers of the World.

Salah satu organisasi buruh yang cukup menonjol ketika itu adalah Federasi Perdagangan Terorganisir dan Serikat Buruh (yang kemudian menjadi Federasi Buruh Amerika). Dalam konvensi nasionalnya di Chicago, tahun 1884, serikat ini kemudian memproklamirkan dan mendorong legalnya gagasan tentang delapan jam kerja.

Perlawanan buruh dalam berbagai pemogokan untuk menuntut kerja dan perlakuan yang adil terus berlangsung di berbagai negara. Puncaknya sebanyak 300 ribuan pekerja dari 13 ribu perusahaan di AS meninggalkan pekerjaan mereka dan terlibat langsung dalam demonstrasi menuntut delapan jam kerja. Di Chicago, 1 Mei 1886, demo diikuti oleh 40 ribu pekerja (juga kaum anarkis dan sosialis). Jumlah massa yang ikut serta dalam demonstrasi terus bertambah hingga 100 ribuan buruh, dan berlangsung beberapa hari.

Melihat gelombang massa aksi yang terus bertambah besar, aparat kepolisian mulai bertindak pada hari itu secara represif. Ensiklopedi of Chicago mencatat “bentrok polisi dengan pemogok setidaknya terjadi 12 kali, dengan tiga kali diantaranya dengan melakukan penembakan.”

Pada 4 Mei 1986. Polisi menembak demonstran secara membabi buta setelah dari arah massa ada bom yang dilempar hingga menyebabkan seorang polisi meninggal, meski identitas pengebom ini tak pernah diketahui sama sekali.

Peristiwa ini kemudian dikenang sebagai “Tragedi Haymarket.” Rententan hari-hari pemogokan menuntut perbaikan kondisi kerja tersebut telah memakan banyak korban jiwa dan luka-luka dari kalangan buruh karena represifitas aparat polisi pada saat itu.

Setelah peristiwa tersebut, aparat tak berhenti begitu saja. Setiap tempat pertemuan, sekretariat serikat pekerja, tempat cetak, serta rumah pribadi para aktivis diserang polisi, dan sejumlah tokoh sosialis dan anarkis ditangkap. Pengadilan kemudian memutuskan empat orang tokoh buruh yang seorang anarkis dihukum gantung pada 11 November 1987.

Tragedi Haymarket bukanlah sekadar sebuah drama perjuangan buruh menuntut ‘Delapan Jam Sehari’, tetapi sebuah perjuangan serta harapan untuk mengubah tatanan dunia yang lebih baik. Pada Kongres Internasional Kedua di Paris, 1889, 1 Mei kemudian ditetapkan sebagai hari buruh internasional. Sementara Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) baru mengakui ini pada 1919.

Memaknai sejarah May Day akan mengajarkan pada kita tentang sebuah akar perjuangan dan pengorbanan yang hari ini bisa kita nikmati bersama hari ini, bekerja selama delapan jam sehari. Memaknai sejarah May Day akan mengajarkan kita pada tentang sebuah akar perjuangan dan pengorbanan yang bisa kita nikmari bersama hari ini, libur di akhir pekan.

Kondisi kerja yang kita rasakan hari ini tak pernah luput dari sejarah panjang perjuangan kaum buruh yang dahulu harus meregang nyawa di pabrik karena kerja yang tak manusiawi, atau meregang nyawa karena menuntut keadilan dan kondisi kerja yang layak di jalanan. Inilah mengapa kita merayakan May Day. []

DItulis oleh Fathimah Fildzah Izzati, anggota SINDIKASI