Surplus Pekerja Rentan di Era Transformasi Neoliberal

Surplus Pekerja Rentan di Era Transformasi Neoliberal

Tahap neoliberalisme dalam perkembangan kapitalisme global telah menciptakan jumlah manusia yang amat besar yang dapat dikategorikan sebagai relative surplus population —kemudian disebut surplus populasi relatif (Nelison dan Stubbs 2011). Kelompok ini terdiri dari kaum pekerja yang tersedia dalam jumlah berlebih dan eksis  demi keperluan akumulasi modal pada tingkat perkembangan perekonomian kapitalis tertentu. Beralihnya sektor pertanian ke sektor industri dan jasa membuat sebagian petani berhasil dengan lebih efisien dibanding petani lainnya, terutama karena penguasaan sarana produksi tanah. Dalam konteks Indonesia, hasilnya adalah pembengkakan bagian dari angkatan kerja yang sudah lama tersingkir dari sektor pertanian, tetapi tidak bisa memasuki sektor industri. Sebagian lainnya dari para angkatan kerja ini masuk dalam kelompok pekerja sektor informal atau masuk dalam jajaran pekerja rentan dengan segala risikonya. Mereka inilah yang harus hidup dengan pekerjaan rentan dan mengisi barisan surplus pekerja/populasi relatif.

Habibi (2016) menjelaskan bahwa pembentukan surplus populasi relatif merupakan bagian yang penting bagi proses akumulasi kapital. Akumulasi kapital melibatkan modal konstan berupa mesin dan modal variabel berupa tenaga kerja. Kedua modal ini “digunakan” untuk menciptakan surplus yang menjadi fondasi bagi akumulasi berikutnya. Dalam logika sederhana, pemilik kapital perlu meningkatkan produktivitas mereka untuk memperoleh surplus yang lebih tinggi. Setelah itu, mereka menggenjot produksi nilai lebihnya dengan memaksimalkan tenaga buruh untuk memproduksi sebanyak mungkin komoditas, misalnya dengan menambah jam kerja. Upaya ini mengundang protes dari para buruh, seperti pemogokan atau sabotase pekerjaan. Akhirnya, penggunaan mesin menjadi salah satu upaya alternatif untuk tetap meningkatkan produktivitas.

Sementara itu, ekspansi kapital mustahil dilakukan tanpa diikuti dengan peningkatan jumlah pekerja yang siap untuk diserap. Maka, para pemilik kapital tidak bisa hanya mengandalkan angkatan kerja yang datang dari pertumbuhan penduduk secara alami. Mereka perlu menciptakan cadangan populasi pekerja yang sewaktu-waktu dapat dipanggil. Di sinilah peran surplus populasi relatif dimainkan, yakni sebagai pemain cadangan. Kelompok surplus pekerja relatif ini menjadi salah satu solusi ketika jumlah mereka semakin banyak, sementara perusahaan perlu menghemat pemakaian tenaga kerja manusia karena semakin banyaknya inovasi teknologi produksi. Pada saat yang bersamaan, kehadiran surplus pekerja ini diperlukan untuk menghindari kenaikan upah pada segmen tenaga kerja yang terlibat aktif dalam proses-proses ekonomi—karena  mereka mudah digantikan oleh barisan pekerja cadangan yang panjang (Habibi, 2016: 8-12).

Pengukuran atas kemubaziran dan aktivitas yang dicetuskan Neilson dan Stubss (2011) dapat digunakan untuk memahami surplus pekerja relatif lebih lanjut, terutama untuk membedakannya dengan para pekerja aktif. Saat mubazir, semua populasi pekerja di luar pekerja aktif, dan mereka yang “surplus” dari persyaratan produksi atas akumulasi kapital, disebut surplus populasi relatif. Formula untuk kategori ini adalah jumlah dari pengangguran (aktif mencari pekerjaan dan tidak mendapat upah), ditambah dengan mereka yang tidak bekerja atau mereka yang berada di luar angkatan kerja (mereka yang tidak mendapat upah dan tidak secara aktif mencari) (Neilson dan Stubss, 2011: 440).

Sedangkan, aktivitas populasi surplus relatif sendiri adalah “tidak produktif” atau “informal”, sehingga ia berbeda dengan konsep active army. Tentara cadangan tenaga kerja atau reserve army of labor dibuat “mubazir” dari para pekerja aktif karena kapitalisme ingin meningkatkan produktivitasnya. Barisan cadangan ini termasuk mereka yang sebagian aktif dan menjadi pusat dari dinamika akumulasi kapital yang didorong oleh eksploitasi. Sumber tenaga siap pakai ini akhirnya dapat digunakan secara fleksibel oleh para pemilik modal. Pada titik mubazir, pasukan cadangan bisa jadi sama sekali tidak produktif. Akan tetapi, ketika mereka terlibat, mereka masuk ke dalam sektor inti dari produktivitas kapitalis (Neilson dan Stubbs, 2011: 441).

Logika akumulasi kapital ini merupakan tujuan utama dari proyek neoliberal. Dalam kerangka neoliberalisasi, kesejahteraan manusia dipercaya dapat dicapai dengan membebaskan kewirausahaan dan keahlian individu yang ditandai oleh hak milik pribadi yang kuat, pasar bebas, dan perdagangan bebas. Peran negara, utamanya, adalah untuk menciptakan dan memelihara kerangka institusional yang memadai untuk menciptakan iklim investasi yang dianggap dapat menyelesaikan masalah. Reorganisasi neoliberal menggeser model akumulasi “pembangunanisme nasional” yang berdasar pada pembagian kerja nasional, menjadi “globalisme neoliberal pascakolonial” yang ditopang oleh pembagian kerja di tataran internasional (Habibi, 2016: 21). Pada sisi lainnya, tidak semua tindak tanduk Negara, khususnya di Indonesia, ditentukan oleh kepentingan modal transnasional belaka. Modal transnasional itu hampir selalu harus bernegosiasi dengan kekuatan oligarkis domestik (Robison and Hadiz 2004). Dengan demikian, hal yang tak terelakkan terjadi adalah implikasinya terhadap arah perubahan politik. Hal paling genting dari kondisi ini, termasuk di Indonesia, adalah tidak adanya koalisi sosial politik terpadu yang mampu menantang kekuasaan oligarki setelah ambruknya pemerintahan otoriter. Kepentingan sosial dan aktor-aktor baru yang muncul dari dalam proses demokratisasi telah diserap ke dalam logika oligarki, dan lembaga-lembaga demokratis pun harus memenuhi kepentingan utama mereka sama seperti semasa Orde Baru. Akibatnya, jajaran surplus populasi pekerja tadi bisa terdesak dalam kondisi yang semakin rentan bila tidak diimbangi dengan perlawanan dari kelas pekerja. []

Citra Maudy, Pengurus Harian SINDIKASI

SERIKAT PEKERJA MEDIA DAN
INDUSTRI KREATIF UNTUK DEMOKRASI

Jl. Tebet Timur I D No.1, Tebet, Kota Jakarta Selatan