SINDIKASI Tolak RUU Penyiaran: Gerus Kesejahteraan Pekerja Media dan Kreatif Hingga Bikin Freelancer Makin Rentan

RUU Penyiaran bukan hanya mempersempit ruang berekspresi pekerja media, kreatif, perempuan, dan kelompok rentan ketika disahkan, tapi juga menggerus sumber pendapatan dan kesejahteraan.

SINDIKASI Tolak RUU Penyiaran: Gerus Kesejahteraan Pekerja Media dan Kreatif Hingga Bikin Freelancer Makin Rentan
Photo by Libby Penner / Unsplash

SINDIKASI, 23 Mei 2024 - Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (SINDIKASI) menolak revisi Rancangan Undang-Undang Penyiaran yang saat ini tengah digodok oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). SINDIKASI menilai dalam draft terbaru RUU Penyiaran yang saat ini beredar di publik terdapat sejumlah pasal bermasalah yang bukan hanya mempersempit ruang berekspresi pekerja media, kreatif, perempuan, dan kelompok rentan ketika disahkan, tapi juga menggerus sumber pendapatan dan kesejahteraan.

“Penyempitan ruang berekspresi juga berarti berkurangnya ruang ekonomi dan kondisi kerja yang semakin buruk. Platform digital menjadi salah satu alternatif ekonomi di tengah ketidakpastian kerja di industri media yang terdisrupsi. Dengan berbagai pasal karet, ruang-ruang ini akan semakin tertutup dan ruang ekonomi menjadi semakin sempit,” ujar Koordinator Divisi Advokasi Kebijakan SINDIKASi Guruh Riyanto.

Berkaca dari pemblokiran terhadap Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) akibat penerapan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 5 Tahun 2020 (Permenkominfo 5/2020) tentang PSE Lingkup Privat, SINDIKASI mencatat terdapat 44 anggotanya yang terdampak langsung dari pemblokiran 30 Juli 2022 dengan kerugian sekitar Rp 136 juta.

“Kami khawatir, jika RUU Penyiaran dengan berbagai pasal bermasalahnya tetap disahkan, akan menimbulkan kerugian luar biasa yang harus ditanggung oleh para pekerja. Kerugian ini termasuk potensi PHK besar-besaran akibat semakin menyempitnya ruang ekspresi dan ekonomi pekerja media dan industri kreatif,” kata Guruh menambahkan.

Tidak hanya itu, deretan pasal bermasalah dalam RUU penyiaran ini menurut Divisi Gender dan Inklusivitas Sosial SINDIKASI Ratri Ninditya juga justru bertolak belakang dengan semangat filosofisnya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Padahal, dalam draft terbaru RUU penyiaran disebutkan dengan jelas bahwa Sistem Sistem Penyiaran Nasional salah satu tujuannya untuk meningkatkan daya saing bangsa dan kesejahteraan masyarakat.

“Tujuan penyiaran untuk meningkatkan kesejahteraan tidak akan tercapai jika penyebaran konten film terhambat. Seluruh pekerja film, mulai dari produksi, pasca produksi, hingga distribusi, akan terdampak jika peraturan ini diterapkan. Dengan larangan yang sangat luas dan tidak jelas, banyak film yang tidak akan bisa ditayangkan,” kata Ratri Ninditya.

Berbagai kesulitan ini akan berakibat pada penurunan kualitas jurnalisme dan penurunan kondisi kerja bagi para pekerja media dan kreatif. Terlebih, saluran pada platform digital banyak mempekerjakan para pekerja lepas.

“Pekerja lepas sendiri saat ini sudah berada dalam kondisi rentan dengan ketidakpastian pembayaran upah dan tidak adanya jaminan sosial. Kerentanan ini akan semakin meningkat dengan pembatasan-pembatasan pada ruang digital,” ujar Guruh.

Oleh karena itu SINDIKASI menolak RUU Penyiaran dan mendesak agar pembahasan RUU Penyiaran dalam prolegnas 2024 dihentikan. Lebih lanjut, SINDIKASI juga mendesak agar pembahasan RUU Penyiaran harus dibahas ulang dengan melibatkan publik secara bermakna dengan menghilangkan pasal-pasal diskriminatif, pasal-pasal yang membungkam pers, dan sejumlah pasal lainnya yang berpotensi merugikan pekerja media dan industri kreatif.

SERIKAT PEKERJA MEDIA DAN
INDUSTRI KREATIF UNTUK DEMOKRASI

Jl. Tebet Timur I D No.1, Tebet, Kota Jakarta Selatan