Siapa itu Buruh? Apa Kamu juga Seorang Buruh?

Di salah satu ruang redaksi sebuah media massa yang telah cukup berusia dan disegani, seorang wartawan, sudah menjabat sebagai redaktur, ngomel-ngomel ketika melihat perayaan Mayday, 1 Mei tahun lalu.

Buruh ini, demo terus. Kerjanya kapan.”

“Bingung dah gua. Pada gak ada puas-puasnya,” katanya, entah pada siapa. Sembarang saja bicara pada semua yang kira-kira mendengar.

Ia terus saja mengulang-ulang perkataan yang sama sembari mengedit dan mengunggah tulisan reporter.

Waktu lain, ketika penentuan upah minimum diumumkan, orang yang sama senang bukan kepalang. Gajinya naik meski cuma sedikit.

Dia tak sadar kalau kegembiraannya itu adalah hasil demonstrasi buruh-buruh yang sebelumnya ia nyinyiri tadi.

Tentu banyak orang yang seperti ini. Tapi mereka jelas tak bisa disalahkan sepenuhnya atas ketidaktahuan tersebut. Dia tidak paham kalau ia, yang bekerja sebagai tukang edit berita, juga seorang buruh.

Menjadi buruh adalah kondisi objektif. Maksudnya, status sosial sebagai buruh bukan persoalan apakah kamu merasa atau tidak, sadar atau tidak. Itu adalah kondisi yang ada di luar pemaknaan kamu tentangnya.

Itu dia mengapa disebut “kondisi objektif”, sebab ia lepas dari prasangka subjektif orang. Lepas dari pemaknaan tentangnya.

Buruh—dan juga majikan/bos—adalah persoalan relasi. Bagaimana maksudnya?

Kita bahas terlebih dulu definisi minimal tentang buruh mengikuti pengertian yang terdapat dalam Undang-undang 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Dalam pasal 1 ayat (3) UU tersebut, apa yang disebut buruh/pekerja, adalah “setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.”

Definisi minimal ini sudah sedikit membantu kita memahami bahwa redaktur media kita tadi sebetulnya sama saja dengan yang dia tonton: sama-sama buruh. Kenapa? Karena dia jelas menerima gaji reguler—umumnya bulanan—atas kerja yang telah dia berikan, dalam hal ini mengedit, membuat proyeksi isu, dan lain-lain.

Tapi definisi minimal ini jelas masih belum menjawab secara memuaskan. Kita bisa beralih ke beleid lain di UU yang sama mengenai “hubungan kerja” atau hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja.

Dalam Pasal 1 ayat (15), dijelaskan bahwa perjanjian kerja mempunyai unsur 1. pekerjaan; 2. upah; dan 3. perintah.

Unsur ketiga ini yang tidak dibahas dalam definisi minimal tadi. Juga perjanjian kerja. Definisi ini tidak menjelaskan soal tempat kerja, apakah itu di kantor, di pabrik, atau bahkan di rumah.

Jadi misal kamu dapat kerjaan dari pemberi kerja, dengan hanya perjanjian yang disepakati bersama via WhatsApp, dan kamu dapat uang atau kompensasi apapun dari sana, kamu adalah buruh berdasarkan pengertian undang-undang.

Para pekerja ini biasa kita sebut sebagai “freelance“.

Itu pengertian buruh dari Undang-undang, sementara hal yang paling substansial, yang membedakan antara buruh dan pengusaha adalah soal: kepemilikan atas alat-alat produksi. Dia yang punya alat produksi dan membayar orang untuk mengoperasionalkan itu disebut majikan; sementara dia yang tak punya alat produksi dan bekerja untuk pemilik alat produksi itu disebut buruh.

Apa itu alat produksi? Alat produksi adalah seperangkat alat yang dipakai untuk menciptakan komoditas, atau barang apapun yang punya nilai jual di pasar.

Air di sumber mata air bukan komoditas, tapi air dari sumber mata air yang telah diproses jadi minuman botolan adalah komoditas. Oksigen bukan komoditas, tapi oksigen yang telah dimasukkan ke dalam tabung adalah komoditas.

Definisi tentang ini berkembang seiring dengan munculnya kelas buruh itu sendiri, ketika revolusi industri di Inggris merombak tatanan sosial yang mapan dan menggantinya dengan tatanan sosial baru yang disebut dengan kapitalisme.

Pertanyaannya, apakah definisi ini masih relevan di jaman sekarang? Para wartawan misalnya, punya ponsel dan kamera sendiri untuk memburu berita, sementara dua komoditas itu adalah alat produksi baginya. Begitu juga dengan para freelance dan para pekerja lain yang masih pakai barangnya sendiri untuk bekerja.

Ini justru semakin relevan ketika kita paham bahwa tujuan utama cum klasik dari para pengusaha adalah: dengan modal seminimal-minimalnya dapat untung sebesar-besarnya. Idealnya para wartawan ya diberi ponsel dan kamera sendiri, tapi karena itu bisa bikin biaya operasi meningkat, maka para pengusaha media tidak melakukannya.

Begitu seterusnya.

Dari sini kita juga paham bahwa apa yang kerap disebut “mitra” (kamu tahu apa yang sedang kita bahas) sebetulnya hanya ilusi yang diciptakan para pengusaha agar mereka dapat keuntungan sebesar-besarnya dengan modal seminimal-minimalnya.

Mereka menciptakan kondisi dimana seakan-akan para mitra ini setara. Padahal jelas mitra tak punya daya tawar apa-apa. Soal harga mereka yang tentukan, tak ada pula jaminan sosial seperti kesehatan dan ketenagakerjaan.

**

Kini terang bahwa karyawan, profesional, freelance, mitra, dan sejenisnya sebetulnya hanya nama-nama lain dari “buruh”. []

Ditulis oleh Rio Apinino (Ketua Divisi Riset dan Edukasi SINDIKASI)