Penolakan THR Ojol, Ketidakmungkinan Atau Imajinasi Yang Kita Batasi?

Penolakan THR Ojol, Ketidakmungkinan Atau Imajinasi Yang Kita Batasi?
Unsplash: Fikri Rasyid

Penulis: Lajovi Pratama Sekjen SINDIKASI 2022-2024

Melihat bagaimana respon atas kebijakan THR untuk pengemudi ojek online, saya jadi tergerak untuk membuat tulisan panjang ini. Perjuangan atas hak THR di Indonesia sebenarnya adalah gerakan panjang sejak tahun 1951. Yang awalnya hanya untuk pegawai negeri saat itu, namun hari ini bisa dirasakan oleh setiap pekerja. Meskipun dalam implementasinya, ada banyak praktik curang yang terjadi dan dialami banyak kawan-kawan pekerja.

Ide tentang THR untuk ojek online rasanya bukanlah gagasan yang muncul tiba-tiba, tapi ini adalah perjalanan gagasan dari teman-teman pengemudi ojek online sejak awal aplikasi ini beroperasi.

Pengemudi Ojek Online Dalam Ekosistem Gig Ekonomi

Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (SINDIKASI) dalam penyusunan publikasi kertas posisi yang berjudul “Ongkos Tersembunyi Ekonomi Digital”, pernah berdiskusi dengan teman-teman pengemudi ojek online. Hal yang paling mendasar yang jadi perbincangan saat itu adalah gagasan “mitra” yang jika ditelaah memiliki ketimpangan yang begitu nyata.

Ilusi kemitraan ini berhasil membentuk suatu kesadaran yang begitu kuat dipercaya banyak orang, bahwa ojek online dan aplikasi adalah mitra. Kenapa gagasan mitra ini pada dasarnya adalah ilusi, karena jika teman-teman tanyakan kepada para pengendara, kebanyakan dari pengendara ini tak memiliki kebebasan menentukan mengatur waktu kerja mereka. Jika mereka 1 hari saja tak aktif menarik, maka algoritma aplikasi akan mengurangi kesempatan mereka mendapatkan orderan di hari-hari berikutnya, dan mereka harus bekerja lebih keras dari biasanya untuk mengembalikan performa akun mereka.

Bukankah mitra itu harusnya berorientasi pada hasil yang disepakati? Bukan pada “keaktifan” semata. Lalu, teman-teman pengendara juga harus mengalokasikan 20-30% atau bahkan lebih, dari total argo untuk diberikan kepada aplikasi. Bayangkan, ini sama seperti seorang sales yang harus mencari orderan karena ada persentase untuk aplikasi dan untuk pengendara.

Bahkan, sales saja masih memiliki pemasukan rutin diluar upaya mereka mencari orderan dan untuk mencapai target, bukan?

Adalagi contoh lain bahwa “mitra” hanyalah ilusi, misalnya jika orderan masuk dan pengemudi ojek online tidak mengambil orderan tersebut, maka akan memperburuk performa akun mereka, dan lagi-lagi dampaknya adalah pengurangan peluang mendapat orderan kembali dalam kurun waktu tertentu. Jadi, teman-teman pengemudi ini bekerja pada dasarnya dengan perintah order yang datang dari aplikasi.

ketergantungan pengemudi pada algoritma membuktikan adanya hubungan kerja yang lebih mirip pekerja/buruh daripada mitra independen. Untuk informasi, bahwa definisi buruh atau pekerja adalah orang yang bekerja karena adanya perintah dan mendapatkan upah atas pekerjaan yang dilakukan.

SINDIKASI dalam risetnya yang berjudul “Mengubur Pundi Di Tengah Pandemi” menjelaskan bahwa bentuk “ilusi kemitraan ini merupakan corak kerja fleksibel yang diikuti dengan berbagai kerentanan dan ketidakpastian. Corak yang dikemudian hari disebut oleh SINDIKASI sebagai Flexploitation, atau eksploitasi kerja dengan justifikasi fleksibilitas. Ada banyak pekerja kreatif bahkan pekerja seperti pengemudi ojek online yang menunjukkan corak kerentanan fleksibilitas gig ekonomi ini.

Menghitung Perputaran Uang

Jika kita googling saja, pengemudi ojek online di Indonesia itu ada sekitar 4 jutaan pengemudi. Jika dalam 1 hari, pengemudi ojek online menghasilkan 100 ribu rupiah saja, dengan asumsi bagian untuk aplikasi adalah 20%, maka aplikasi mendapatkan pemasukan 20 ribu/ ojek online. Artinya, dalam 1 hari ada 80 miliar rupiah bagian yang masuk untuk aplikasi. Dalam 1 tahun, jika kita mengambil rata-rata hari kerja per pengemudi adalah 24 hari, maka dengan total 288 hari dalam 1 tahun, aplikasi mendapatkan pemasukan sebesar 23 triliun.

Ini jika menghitung rata-rata perhari pemasukan pengemudi adalah 100 ribu rupiah. Bagaimana kalau lebih? Tentu lebih banyak lagi yang diterima aplikasi.

Selain dari bagian orderan, kalau dilihat aplikasi seperti gojek dan grab pun sudah mengembangkan bisnisnya dengan menjual inventori space untuk iklan. Saat saya membuat tulisan ini, saya menggunakan ojek online untuk menuju sebuah kafe di Semarang. Sambil menunggu dijemput, saya melihat ada iklan rokok yang muncul di aplikasi milik saya.

Ya, aplikasi punya kekuatan untuk menjual space aplikasinya sebagai medium iklan bagi banyak brand. Pasti ada pemasukan lain dari aplikasi, selain dari 20-30% hasil tarikan pengemudi ojek online.

Hitungan ini adalah hitungan kasar saja, pun belum tentu benar, tapi setidaknya begitulah cara saya menghitung kemungkinan perputaran uang yang masuk ke aplikasi.

Imajinasi THR Pengemudi Ojek Online

Saya bukanlah pendukung rezim Prabowo, tapi saya bersyukur ada oase ditengah kegelapan yang tengah melanda negeri ini. Saya melihat bagaimana orang-orang merespon soal kebijakan ini. Namun yang paling ingin saya garisbawahi adalah banyaknya penolakan karena hanya melihat faktor status “mitra” saja.

Teman-teman, bukankah inovasi dan suatu temuan itu berangkat dari imajinasi?

Saya rasa, kita perlu berimajinasi bahwa pemberian THR untuk pengemudi ojek online bukanlah hal yang tidak mungkin. Dari keterangan menaker (meskipun saya belum melihat banyak kinerja menaker baru), hitungan yang digunakan untuk memberikan THR adalah 20% dari rata-rata pemasukan dalam 1 tahun tiap pengemudi.

Selain hitungan tadi, sebenarnya ada banyak cara untuk menjajal kemungkinan pemberian THR. Ya, dari pemasukan yang diberikan pengemudi kepada aplikasi juga bisa menjadi salah satu caranya, tapi saya mengajak teman-teman berimajinasi, bahwa sebenarnya ada banyak cara pemberian THR bagi pengemudi ojek online.

Program-program seperti bantuan subsidi listrik, subsidi bahan bakar, bisa jadi opsi untuk mewujudkan THR yang layak bagi pengemudi ojol. Soal bagaimana mewujudkannya, tentu untuk entitas sebesar Grab dan Gojek, dengan banyak orang-orang pintar di dalamnya, sudah pasti memiliki sumber daya untuk bisa menjajal berbagai kemungkinan-kemungkinan ini.

Atau, cara paling mudah dengan berkontribusi pada pembentukan koperasi bagi pengemudi. Lewat pembentukan koperasi, ini tentu memberikan lebih banyak akses kepada pengemudi untuk bisa mendapatkan hak yang lebih layak serta dapat berkontribusi pula pada peningkatan kesejahteraan pengemudi.

Atau bisa juga dengan mengakses funding dari lembaga filantrofi besar di skala nasional dan internasional untuk membentuk program peningkatan kesejahteraan ojek online.

Saya yakin masih ada lebih banyak gagasan yang bisa kita imajinasikan untuk mendukung kebijakan ini, dan mendorong agar entitas-entitas besar tadi juga memikirkan bagaimana agar mengimajinasikan hal-hal orientasinya pada kesejahteraan pengemudi.

Karena, imajinasi bukan hanya semata-mata diperlukan untuk menciptakan sesuatu yang bergengsi semata, atau menciptakan nilai kapital untuk investor saja, bukan?

Imajinasi adalah kunci. Bukankah negara ini pun terbentuk dari imajinasi?

Terbebasnya dunia dari perbudakan juga karena imajinasi?

Berakhirnya era monarki, juga berangkat dari imajinasi?

Berimajinasilah, bukalah ruang seluas-luasnya untuk mengimajinasikan hal-hal yang mungkin tak pernah kita bayangkan. Bukalah ruang imajinasi itu, dan bereksperimenlah. Tak banyak dari kita yang punya privilege untuk mengakses pengetahuan seperti yang kita miliki hari ini, manfaatkanlah itu untuk menghasilkan gagasan-gagasan, meskipun kecil, namun memiliki tujuan dan dampak untuk banyak orang.

Gagasan besar selalu lahir dari keberanian membayangkan kemungkinan baru. Jika industri digital terus berkembang dengan dalih inovasi, mengapa inovasi itu berhenti saat berbicara tentang kesejahteraan pengemudi? Kita punya pilihan: membiarkan mereka tetap berada dalam bayang-bayang eksploitasi, atau mulai membayangkan solusi yang lebih berkeadilan.

Tulisan lain yang bisa jadi perhatian teman-teman, yang juga menjadi sumber pemikiran saya saat menulis ini adalah tulisan dari Arif Novianto pada link ini.

SERIKAT PEKERJA MEDIA DAN
INDUSTRI KREATIF UNTUK DEMOKRASI

Jl. Tebet Timur I D No.1, Tebet, Kota Jakarta Selatan