Pengakuan Adanya Kekerasan Di Dunia Kerja: Kemenangan Feminis Marxis-Sosialis

Pengakuan istilah “dunia kerja” merujuk pada ruang lingkup kekerasan yang dialami pekerja terutama pekerja perempuan dan pekerja dari kelompok rentan mengonfirmasi gagasan feminisme Marxis-Sosialis mengenai konsep eksploitasi kerja atau opresi perempuan pekerja yang tidak hanya terjadi pada proses produksi, tetapi juga reproduksi.

Pada 2017, Lita Anggraini bergegas mengumpulkan sejumlah pekerja rumah tangga, buruh dan serikat pekerja agar segera mengadakan rapat soal persiapan meminta negara menyetujui konvensi stop kekerasan dan pelecehan di dunia kerja yang akan dibahas dalam sidang PBB 2 tahun lagi sejak saat itu.

Di tempat lain, Emma Liliefna, pengurus Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) juga para pengurus Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) juga melakukan rapat-rapat maraton untuk ini.

Bagi Lita Anggraini sebagai aktivis Pekerja Rumah Tangga (PRT), jika konvensi ini diakui dan disahkan, maka para pekerja informal dan pekerja rentan seperti PRT, buruh migran, pekerja informal lain di seluruh dunia, akan mendapatkan pengakuan sebagai pekerja. Artinya mereka akan mendapat perlindungan kekerasan dan pelecehan di dunia kerja seperti halnya pekerja formal lainnya.

Selama ini pekerja informal dan pekerja rentan di Indonesia, tak mendapatkan pengakuan sebagai pekerja dalam undang-undang di Indonesia, posisinya rentan, jika mendapatkan kekerasan dan pelecehan, maka akan sulit sekali untuk mengadvokasi.

Sejak ajakan Lita Anggraini di tahun 2017 itu, para buruh kemudian membentuk jejaring Aliansi Stop Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja. Aliansi yang terdiri dari berbagai serikat pekerja dan organisasi masyarakat sipil yang memperjuangkan stop kekerasan di dunia kerja ini kemudian banyak mengadakan rapat di Kalibata, di kantor JALA PRT dimana Lita aktif sebagai koordinator di sana.

Setelah pertemuan itu, Aliansi kemudian melakukan kerja-kerja untuk menggolkan konvensi agar pemerintah dan pengusaha Indonesia menyetujui konvensi di tingkat Indonesia.

Kala itu aliansi menemui Menteri Tenaga Kerja, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan HAM, juga Asosiasi Pengusaha Indonesia dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Selain itu aliansi mengorganisir buruh-buruh untuk menjadi anggota serikat pekerja. Di antaranya, FSBTPI, KSBI, KSPI, JALA PRT, juga Serikat SINDIKASI dan organisasi perempuan yang banyak bekerja untuk isu perburuhan seperti Perempuan Mahardhika.

Jumat, 21 Juni 2019 jadi momen bersejarah bagi seluruh buruh di dunia. Setelah diperjuangkan di Indonesia dan ratusan negara lainnya, dunia mengakui banyak terjadinya kekerasan dan pelecehan di dunia kerja. Pengakuan tersebut terjadi dalam Sidang International Labour of Organization (ILO) di Jenewa 21 Juni 2019, dalam sidang tersebut ILO mengesahkan Konvensi ILO 190 stop kekerasan dan pelecehan di dunia kerja. Selain pengakuan terhadap KILO 190, juga terdapat Rekomendasi 206 yang menjadi landasan bagi pemerintah dan pengusaha untuk menerapkan stop kekerasan dan pelecehan di dunia kerja.

Negara-negara anggota PBB termasuk Indonesia yang menyetujui konvensi selanjutnya harus meratifikasi konvensi untuk diterapkan menjadi dasar hukum di negaranya masing-masing.

Dalam kurun waktu dua tahun ini sudah ada negara yang mengambil langkah formal ratifikasi Konvensi 190 seperti Uruguay, Argentina, Equador, Somalia, Namibia dan Fiji. Sisanya, negara-negara yang berencana menganalisis pra-ratifikasi Konvensi ILO 190 seperti Fanuatu, Thailand, Timor Leste. Berikutnya adalah negara-negara yang berminat menangani masalah dan akan meratifikasi Konnvensi 190 di masa yang akan datang yaitu Bangladesh, Kamboja, Malaysia, Nepal, Filiphina dan Vietnam.

Mengapa disebut dunia kerja dan bukan tempat kerja?

Pengakuan istilah “dunia kerja” merujuk pada ruang lingkup kekerasan yang dialami pekerja terutama pekerja perempuan dan pekerja dari kelompok rentan mengonfirmasi gagasan feminisme Marxis-Sosialis mengenai konsep eksploitasi kerja atau opresi perempuan pekerja yang tidak hanya terjadi pada proses produksi, tetapi juga reproduksi.

Merujuk pada gagasan Marx dan Engels, feminisme Marxis-Sosialis mengakui opresi terhadap perempuan merupakan produk dari struktur politik, sosial, dan ekonomi tempat individu tersebut hidup. Penyebab opresi atau penindasan terhadap perempuan adalah sistem kapitalistik dan imperialisme yang menguasai kepemilikan pribadi.

Dalam sistem kapitalisme, hubungan kekuasaan bersifat eksploitatif terhadap pekerja. Pemberi kerja hanya membayar pekerja untuk besarnya pekerjaannya tanpa membayar pengeluaran sesungguhnya atas energi dan intelegensi para pekerja. Artinya, pemberi kerja hanya mengakui hasil kerja para dari proses produksi di tempat kerja, namun mengabaikan kerja-kerja reproduksi (yang secara tradisional dikerjakan perempuan di ranah domestik). Kapitalisme memisahkan tempat kerja dan rumah dalam produksi komoditas. Sehingga, ranah domestik dianggap bukan ruang lingkup terjadinya kekerasan yang akan menjadi tanggung jawab pemberi kerja.

Dalam konteks inilah, pengakuan “dunia kerja” dalam Konvensi ILO 190 menjadi suatu kemenangan bagi feminis Marxis-Sosialis. Secara spesifik, Konvensi ILO mengakui kekerasan dalam rumah tangga sebagai kondisi yang memengaruhi kerja-kerja perempuan pekerja. Konvensi juga dengan sendirinya mengakui rumah sebagai kerja sekaligus tempat penindasan baru bagi buruh perempuan dan eksploitasi yang bisa terjadi pada buruh perempuan

Mengapa dunia kerja, dan bukan tempat kerja?

Terminologi tempat kerja sebagai tempat yang menyebabkan kekerasan dan pelecehan terhadap buruh terpatahkan ketika banyak terjadi kasus kekerasan dan terjadi tak hanya di tempat kerja, tetapi juga di jalan ketika buruh akan berangkat kerja dan melakukan pekerjaan mereka. Diskriminasi terhadap LGBT dan penyandang disabilitas dalam pamflet dan poster persyaratan kerja juga terjadi misal dengan mencantumkan “persyaratan kerja yang mewajibkan yang boleh melamar hanyalah laki-laki dan perempuan” atau “calon pekerja harus sehat jasmani dan rohani.”

Kekerasan juga bisa menimpa buruh ketika berangkat kerja menggunakan angkutan umum, di tempat makan, di toilet, ketika buruh istirahat, hingga buruh pulang kembali ke rumah. Jadi kekerasan tak hanya di tempat kerja, tapi di dunia kerja.

Maka sejak tak disebut sebagai tempat kerja itulah, dunia mengakui bahwa Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) dan bentuk kekerasan dan pelecehan lainnya merupakan hal yang relevan dengan dunia kerja karena berdampak bagi tempat kerja. Dunia kerja kemudian menjadi terminologi baru yang dipakai dalam konvensi.

Secara umum, dari perspektif pekerja perempuan dan pekerja rentan, terdapat empat hal penting yang terdapat dalam konvensi ini:

1.Pertama, tak hanya mengatur tentang kekerasan dan pelecehan yang dialami buruh di tempat kerja saja, namun di dunia kerja, yang artinya konvensi mengatur kekerasan dan pelecehan yang terjadi di rumah, di jalan, hingga di tempat kerja.

2.Kedua, konvensi juga mengakui bahwa Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang banyak dialami pekerja perempuan akan berimbas pada kerja-kerja mereka.

3.Ketiga, konvensi ini memberikan pengakuan kepada seluruh pekerja tidak hanya pekerja informal tetapi juga non formal seperti pekerja rumah tangga, pekerja disable, dll. Pengakuan ini menjadi penting dimana pekerja informal yang selama ini belum diakui sebagai pekerja

4.Keempat, dalam konvensi, mahasiswa magang/ internship diakui sebagai pekerja yang punya hak seperti pekerja lainnya.

Indonesia sebagai negara anggota PBB selanjutnya harus meratifikasi konvensi ini yaitu dengan menghormati, mempromosikan dan mewujudkan hak setiap orang demi dunia kerja yang bebas dari kekerasan dan pelecehan. Setiap Anggota harus mengadopsi, sesuai dengan hukum dan situasi nasional dan dengan berkonsultasi dengan organisasi atau serikat pengusaha dan pekerja yang representatif, melalui pendekatan yang inklusif, terpadu dan responsif gender untuk pencegahan dan penghapusan kekerasan dan pelecehan di dunia kerja yang terdapat dalam Rekomendasi 206.

Luviana
Pemimpin Redaksi Konde.co dan Anggota Serikat SINDIKASI
Nur Aini
Jurnalis dan Ketua Serikat SINDIKASI