Pekerja Lepas yang Terlupakan di Masa Pandemi

Pandemi Covid-19 menghantam pekerja Indonesia dengan cukup keras. Perkiraan pemerintah baru-baru ini menunjukkan hampir 2 juta pekerja kehilangan pekerjaan atau diberhentikan sejak awal krisis. Pekerja lepas dalam kondisi sangat rentan dan tidak mendapatkan perlindungan pemerintah.

Di era kapitalisme platform ini, eksploitasi pekerja lepas dan hubungan kerja sementara semakin meningkat. Meskipun pekerja lepas dapat meningkatkan fleksibilitas, ketidakamanan hubungan kerja dapat mendorong pekerja untuk tunduk pada pengaturan kerja yang tidak adil, sebuah proses yang disebut ‘flexploitation’.

Pekerja lepas di industri kreatif sudah rentan. Pada 2017, terdapat 17,4 juta pekerja di sektor kreatif di Indonesia. Sekitar setengah dari mereka bekerja secara informal atau lepas. Pekerja industri kreatif cenderung bekerja lebih lama dan menerima upah lebih rendah. Sebagian besar freelancer industri kreatif diharuskan bekerja dengan sistem upah borongan (atau berbasis hasil), yang berarti mereka bekerja lebih banyak.

Diskursus tentang “passion” dan “entrepreneurship” di bidang kreatif memperburuk eksploitasi pekerja lepas. Perusahaan korporat menggunakan slogan seperti “lakukan apa yang Anda sukai, cintai apa yang Anda lakukan” sambil mengabaikan hak pekerja lepas sebagai pekerja, mendorong mereka untuk bekerja berjam-jam dengan sedikit atau tanpa imbalan. Bekerja berlebihan bahkan dielu-elukan sebagai kebajikan. Ingat kisah copywriter Mita Diran, yang meninggal pada 2013 setelah bekerja lebih dari 30 jam tanpa henti.

Demikian pula, etos “enterpreneurship” mengaburkan hubungan kerja antara pemberi kerja dan karyawannya. Karyawan dilihat sebagai ‘mitra’ daripada pekerja, mengurangi tanggung jawab pemberi kerja untuk memastikan hak-hak karyawan mereka terpenuhi.

Sebuah survei yang dilakukan oleh Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (SINDIKASI) pada tahun 2019, misalnya, menemukan bahwa pekerja lepas memiliki waktu istirahat yang lebih sedikit karena mereka secara konsisten bekerja melebihi jam kerja standar. Sebagian besar responden tidak menandatangani kontrak kerja atau perjanjian kerja yang jelas yang akan menjamin status dan hak mereka sebagai pekerja. Banyak juga yang mengalami kesulitan dalam mengatur diri sendiri berkat atomisasi mereka sebagai pekerja.

Kondisi ini membuat pekerja lepas sangat rentan terhadap dampak negatif pandemi virus corona.

Pada Maret dan April 2020, SINDIKASI kembali melakukan survei untuk meneliti dampak Covid-19 dan perlambatan ekonomi terkait pekerja industri kreatif. Dari 139 responden, 79% adalah freelancer, sedikit lebih tinggi dari rata-rata sektor tersebut. Banyak pekerja lepas melaporkan pekerjaan atau kontrak dibatalkan, terutama yang mengharuskan mereka untuk bertemu klien secara langsung.

Pekerja di sektor film, video dan audio (17,3%), seni pertunjukan (10,8%), dan fotografi (9,4%) melaporkan paling banyak pembatalan pekerjaan. Pekerja di sektor ini perlu bertemu langsung dengan klien mereka – banyak tugas yang tidak dapat diselesaikan dari rumah. Misalnya, sementara beberapa artis masih dapat melakukan konser secara digital, teknisi panggung kehilangan semua pekerjaannya.

Gagasan bahwa pekerja lepas memiliki lebih banyak fleksibilitas dan kemampuan beradaptasi tidak bertahan selama pandemi. Survei menemukan sekitar setengah dari mereka yang disurvei diperkirakan akan kehilangan antara Rp 5 dan 30 juta antara Maret dan Juli 2020 karena pembatalan pekerjaan. Lebih lanjut, survei juga menemukan bahwa bahkan tanpa pembatalan, banyak (27,7%) mengharapkan hanya menerima Rp 200.000 hingga Rp 1 juta per bulan, jauh di bawah upah minimum.

Untuk pekerja lepas yang kehilangan pekerjaannya, sebagian besar (87,8%) tidak menerima kompensasi yang memadai dari pemberi kerja. Banyak dari mereka adalah pencari nafkah. Mereka melaporkan kehilangan tabungan mereka, terjerat hutang (kepada teman, kerabat, dan rentenir online), dan dipaksa untuk menjual barang-barang pribadi mereka. Sangat sedikit yang melaporkan mencoba mengakses bantuan dari pemerintah, meskipun ini mungkin karena kurangnya kesadaran tentang kelayakan mereka.

Kondisi ini diperparah dengan kegagalan pemerintah Indonesia memahami keseriusan situasi. Pemerintahan Jokowi kelihatan tidak terlalu berminat untuk melindungi pekerja lepas. Meski kehilangan pekerjaan akibat pandemi, pemerintah belum mengeluarkan kebijakan untuk melindungi pekerja secara langsung. Sebaliknya, DPR dan pemerintah lebih sibuk mendorong pengesahan RUU Cipta Kerja yang akan menghapus hak-hak dasar pekerja di berbagai sektor.

Pada April 2020, pemerintah mengalihkan “program pra-kerja” sebagai bagian dari respon terhadap pandemi Covid-19. Tetapi program tersebut difokuskan pada program pelatihan online dan tidak menangani kebutuhan mendesak para pekerja, apalagi pekerja lepas.

Freelancer akan tetap sangat rentan jika tidak ada intervensi pemerintah. Fakta bahwa freelancer sektor kreatif menerima kondisi kerja yang genting tidak berarti mereka harus tunduk pada nasib.

Mengubah kondisi ini akan membutuhkan pekerja lepas untuk mengakui posisi mereka sebagai bagian dari kelas pekerja dan kekuatan kolektif mereka – dan untuk mengatur diri mereka sendiri. Terlepas dari dampaknya yang menghancurkan bagi pekerja lepas Indonesia, pandemi ini masih dapat menjadi pendorong bagi pekerja lepas untuk mengatur dan meningkatkan kondisi kerja mereka.

Ditulis oleh Fathimah Fildzah Izzati, anggota SINDIKASI

Versi Bahasa Inggris tulisan ini tayang pertama kali di blog Indonesia At Melbourne

SERIKAT PEKERJA MEDIA DAN
INDUSTRI KREATIF UNTUK DEMOKRASI

Jl. Tebet Timur I D No.1, Tebet, Kota Jakarta Selatan