Pekerja Industri Media Digital di Tengah Himpitan Fleksibilitas

Berdasarkan laporan International Federation of Journalists (IFJ) yang didukung oleh International Labour Office (ILO) pada tahun 2006, industri media telah mengalami perubahan sifat perekrutan pekerjanya. Data yang didasarkan pada survei global di 38 negara (termasuk kawasan Asia) itu menekankan adanya pertumbuhan yang tidak lazim mengenai ketidakpastian atas pekerjaan dan waktu. Beberapa pekerjaan tersebut diartikan sebagai pekerja lepas, kontrak sementara, dan pekerja paruh waktu. Model rekrutmen pekerja berdasarkan kontrak individu merupakan gejala yang banyak ditemui di kawasan Asia dan Amerika Latin (Emma Walters 2006). Pangsa pasar pekerja model ini  mulai meningkat sejak 1980-an. Menurut Deuze dan Fortunati (2011: 111), “beberapa wartawan masih diperkerjakan secara permanen, tetapi sebagian besar yang lainnya telah terjun payung dalam jangka waktu tertentu untuk mengerjakan aspek tertentu dari suatu proyek.” Empat dari sepuluh jurnalis profesional di Flanders pun mengatakan bahwa mereka direkrut secara “fleksibel” (Raeymaeckers, Paulussen, and De Keyser 2012).

Fleksibilitas bisa jadi adalah istilah yang banyak digunakan untuk mendeskripsikan perubahan kondisi kerja dalam jurnalisme hari ini. Pekerjaan jurnalis kontemporer semakin ditandai oleh “fleksibilitas fungsional” yang tinggi, yang membutuhkan profesional dengan banyak keahlian yang mampu melakukan banyak tugas yang berbeda di seluruh bagian organisasi. Gagasan multitasking ini melampaui persyaratan keterampilan teknis yang terkait dengan jurnalisme (Paulussen 2012). Beberapa pengamat yang menekankan studinya dalam prinsip-prinsip jurnalisme kemudian mengkhawatirkan bahwa hal itu akan berpengaruh pada produksi berita yang tidak lagi menuntut keterlibatan profesional, tetapi dapat dicapai oleh tenaga kerja yang melek komputer dan terbiasa mengemas informasi alih-alih memiliki keterampilan analitis (Hardt 2000).

Perspektif proses tenaga kerja atau rezim buruh menekankan bahwa teknologi digital tidak bertindak sendiri untuk membentuk pengalaman jurnalis, melainkan digunakan dalam proses produksi dengan cara tertentu, dalam konteks restrukturisasi organisasi berita kapitalis untuk meningkatkan keuntungan dan menurunkan biaya kerja (Cohen, 2015). Anderson (2013) dan Tapsell (2018) menyebutkan bahwa ekosistem jurnalisme hari ini melibatkan tidak hanya sejumlah pemain institusional (seperti jurnalis, aktivis media, blogger, pengguna media sosial, peretas, dan pengembang) tetapi juga perusahaan besar seperti Google dan Facebook yang menjual aplikasi berita, alat manajemen media sosial, dan layanan analitik. Kompleksitas perusahaan media yang terjerat dengan aktor-aktor baru ini seringkali memiliki pengaruh yang besar pada bagaimana perusahaan media beroperasi dan bagaimana wartawan bekerja.

Jurnalis digital perlu merangkul teknologi dan terus mencari alat untuk membuat pekerjaan mereka lebih efisien karena tekanan besar untuk mempublikasikan beritanya secara kontan dan cepat. Mereka memantau dan membuat program algoritmik yang mengumpulkan data tentang sirkulasi dan konsumsi berita, platform untuk mendistribusikan konten, sistem manajemen konten untuk penerbitan, dan alat yang mengelola alat lain seperti pemantauan umpan media sosial, pelacakan outlet berita (Cohen 2019). Sebuah argumen yang menguatkan bahwa para jurnalis ini layak disebut sebagai pekerja atau buruh adalah tujuan perusahaan medianya yang bekerja murni untuk alasan komersial (Petre 2015). Berita-berita yang disebarluaskan dihasilkan untuk membentuk audiens yang loyal dan dapat menghasilkan uang dengan berbagai cara bagi media. Serangkaian aplikasi dibangun oleh teknologi perantara untuk mengumpulkan laba sebelum memenuhi kebutuhan jurnalistik.

Pertimbangan lain yang perlu dipahami dalam ekosistem media digital adalah kemampuan ruang redaksi hari ini yang dapat mengakses data secara real time mengenai pembaca. Data itu terdiri dari bagaimana pembaca sampai di situs itu, seberapa sering kunjungannya, apa yang mereka lakukan, berapa lama waktu yang mereka habiskan untuk satu halaman, seberapa jauh mereka berselancar, sampai mengetahui tombol apa saja yang mereka tekan. Analisis terhadap perilaku pembaca dari sebuah laman ini memberikan dampak yang cukup signifikan bagi industri media, terutama bila dibandingkan dengan era pra-internet. Meskipun, tentu, dampak penggunaan alat analitik ini tergantung pada organisasi yang menggunakannya (Petre, 2015). Namun, hal ini tidak menegasikan pengaruhnya pada kondisi pekerja, di mana salah satu manifestasi yang biasa kita dengar adalah target berita maupun page views yang dibebankan kepada jurnalis maupun editor setiap harinya.

Aksesibilitas dan kepopuleran platform media sosial di Asia Tenggara juga menjadi salah satu faktor lainnya yang perlu diperhatikan. Lebih dari 47 juta orang Indonesia memiliki akun Facebook. Angka ini merupakan tertinggi keempat di dunia. Keberadaan pengguna media sosial yang banyak ini menjadi integral atas bisnis media apapun. Sifat berita kontemporer yang bisa disebarluaskan menuntut perusahaan berita berpikir kembali strategi penyebaran berita mereka. Sebaliknya, supaya bisa mudah disebarluaskan dan mendapat engagement yang tinggi, berita perlu dibentuk sedemikian rupa, mulai dari panjang berita, topik, bahasa yang digunakan, kelengkapan artistik, dan sebagainya. Hasilnya, situs media arus utama diikuti oleh mereka yang menggunakan Facebook dan Twitter (Tapsell 2014).

Dari sini, beberapa perusahaan media pun mulai tertarik untuk merekrut wartawan yang memiliki keterampilan yang melampaui dasar-dasar penulisan dan penelitian tradisional, seperti analisis komputasi, pengkodean, dan pengetahuan multiplatform. Keterampilan ini seringkali disebut dengan istilah data, analytics, and platform-oriented. Dengan demikian, wartawan hari ini sedikit banyak dituntut untuk dapat melakukan banyak variasi pekerjaan, terutama mereka yang menjadi editor, redaktur, dan pemimpin redaksi. Ini seperti keterampilan yang menjadi kualifikasi prasayarat bagi wartawan hari ini (Weber & Kosterich, 2018).

Pertanyaan tentang keterampilan ini harus dipertimbangkan dalam skala luas dan konteks sejarah. Keterampilan ganda dapat berarti peningkatan kontrol atas pekerjaan seseorang, pekerjaan yang lebih menantang, gaji yang lebih baik, dan partisipasi yang berarti dalam proses produksi. Peningkatan ini seringkali disertai dengan meningkatnya tekanan di tempat kerja (Cottle & Ashton, 1999). Salah satu contohnya adalah tidak tersedianya waktu bagi jurnalis untuk meningkatkan keterampilan mereka sendiri melalui pelatihan-pelatihan. Tidak tersedianya waktu ini  terjadi karena adanya tekanan peningkatan pekerjaan, kerja berlebihan, dan banyak pekerjaan yang tidak dibayar (Willnat et.al 2014).

Bila dikaitkan dengan proses kerja jurnalis, beberapa kerentanan dan perubahan dalam proses produksi media bukanlah hasil teknologi yang tak terhindarkan, tetapi (sebagaimana ditunjukkan oleh sejarah panjang jurnalisme dan perubahan teknologi) sebagai strategi untuk menurunkan biaya tenaga kerja. Meskipun di samping itu ada fakta yang harus diakui seperti peningkatan dan perluasan terhadap akses terhadap informasi, alat penunjang penjelasan visual atau interaktif, dan cara untuk menjangkau publik (Anderson et. al 2012). Semua hal ini diperkenalkan kepada para wartawan dalam hubungan sosial dan kekuasaan yang menopang produksi berita. Di bawah kondisi seperti itu, beberapa konsekuensi yang dihadapi adalah PHK, meluasnya prasyarat kerja, dan tantangan terhadap otonomi dan kekuatan kolektif mereka (Willnat et.al 2014).

Transformasi nyata dari jurnalisme yang berkaitan dengan digitalisasi hari ini  adalah tenaga kerja. Sebagian perusahaan media memberhentikan dan mengganti wartawan yang mendapatkan upah layak dengan pekerja asing dunia ketiga yang menghasilkan uang per berita dan pekerja lepas berbasis di Amerika Serikat yang tersebar di seluruh negeri yang dibayar sedikit lebih banyak (Smith, 2012). Dalam jurnalisme digital, hubungan sosial kapitalis memainkan peran penting dalam membentuk bagaimana teknologi digunakan, salah satunya adalah kontrol atas proses kerja untuk mengurangi keterampilan kerja dan menurunkan biaya produksi. Oleh karena itu, proses kerja bukan hanya mengenai cara kerja diatur atau dilaksanakan, tetapi juga akumulasi modal yang bekerja di baliknya, terutama ketika menyangkut penggunaan teknologi (Braverman, 1974). Dalam konteks pasar tenaga kerja Indonesia saat ini yang semakin kompetitif – sebagai efek dari diserahkannya pada mekanisme pasar – jargon serba digital yang terus digaungkan pemerintah itu perlu diperiksa (dan dipertanyakan) dengan memeriksa kondisi dan aspek kerja jurnalis hari ini. []

Citra Maudy, Pengurus Harian SINDIKASI