Pekerja Film dan Iklan Sepakat Segera Deklarasi Serikat Pekerja
Seringkali klien menawar harga produksi iklan serendah mungkin yang ditindaklanjuti oleh agensi periklanan dengan mencari rumah produksi yang mampu menekan ongkos produksi meski harus mengorbankan kondisi kerja.
Jakarta, 15 September 2024 - Sebanyak 21 pekerja dari berbagai profesi di ekosistem film dan iklan bersepakat dengan ide SINDIKASI untuk segera mendeklarasikan serikat pekerja yang dapat mewadahi mereka dalam memperjuangkan perbaikan kondisi kerja di sektor film dan iklan.
Para pekerja juga menyepakati untuk bergabung dan ikut membantu memperbesar keanggotaan serikat pekerja dengan memaksimalkan berbagai metode pendekatan. Hal ini menjadi simpulan sekaligus rencana tindak lanjut yang disepakati para peserta FGD “Urgensi Serikat Pekerja Film dan Iklan’ yang diadakan di Sekretariat SINDIKASI, Jumat (13/9).
Selain itu, para pekerja bersama SINDIKASI akan segera merancang draf Perjanjian Kerja Bersama (PKB) yang menjadi usulan pedoman khusus untuk mengatur secara jelas hak dan kewajiban pekerja dan pengusaha. Salah satu poin PKB yang diinginkan pekerja adalah pembatasan waktu kerja di sektor film dan iklan.
Dalam paparannya, sutradara sekaligus penggagas petisi pembentukan serikat pekerja Ray Farandy Pakpahan menyoroti struktur kuasa yang berlapis dalam rantai produksi iklan mulai dari kru di posisi terbawah, rumah produksi, agensi periklanan, dan klien di puncak teratas.
“Masalah kronis” yang dihadapi pekerja, menurut dia, merupakan problem struktural buntut dari praktik saling banting harga dalam produksi iklan demi mendapat pekerjaan.
Dia menggambarkan kuasa penuh klien dalam menentukan biaya produksi iklan tanpa adanya ukuran yang jelas. Seringkali klien menawar harga produksi iklan serendah mungkin yang ditindaklanjuti oleh agensi periklanan dengan mencari rumah produksi yang mampu menekan ongkos produksi meski harus mengorbankan kondisi kerja.
“Banyak produksi iklan yang seharusnya dilakukan dalam dua-tiga hari tapi dipaksakan selesai dalam sehari (karena tak ada batas waktu kerja). Sementara ketika para pekerja yang mempertanyakan overtime, mereka justru bisa kena blacklist karena dianggap ‘tidak asyik’,” terang Ray.
Senada dengan Ray, sebagian peserta FGD juga mengungkapkan kekhawatiran potensi blacklist oleh pemberi kerja apabila pekerja film dan iklan menuntut perbaikan kondisi kerja di sektor ini. Praktik seperti ini telah beberapa kali diketahui menimpa pekerja yang aktif mengampanyekan perbaikan kondisi kerja.
Menanggapi hal itu, Ketua Umum SINDIKASI Ikhsan Raharjo memaparkan definisi, fungsi, dan kekuatan kolektif yang dimiliki pekerja apabila bergabung dalam serikat pekerja.
“Pekerja film dan iklan tak perlu takut berserikat karena negara melindungi kita dari tindakan pemberangusan serikat (union busting). Praktik menghalang-halangi berserikat seperti pemutusan hubungan kerja, tidak membayar atau mengurangi upah, intimidasi, dan kampanye anti pembentukan serikat pekerja merupakan tindakan ilegal dengan ancaman pidana,” ungkap Ikhsan mengutip Undang-undang No 21 Tahun 2001 Tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh.
Dalam forum sempat didiskusikan batasan wilayah kerja serikat pekerja ini. Ada yang menginginkan agar dibatasi pada iklan saja namun sebagian besar lain menginginkan agar serikat pekerja juga diperluas ke ekosistem film.
Perwakilan pengurus Persatuan Artis Film Indonesia (PARFI) 1956 Permana Manalu mendorong agar serikat pekerja mampu menaungi semua pekerja baik di film maupun iklan. Dia menilai para aktor juga membutuhkan serikat pekerja ini sebagai wadah untuk memperkuat daya tawar bersama pekerja film dan iklan lainnya karena sejatinya proses kerja pada ekosistem ini merupakan kerja kolektif.
“Ketika seseorang bekerja itu (tujuannya) adalah untuk meningkatkan kesejahteraan dan mencukupi kebutuh hidup. Bukan untuk mempercepat kemarian karena kelelahan akibat kerja,” ungkap dia.
Sebagai tindak lanjut atas FGD ini, SINDIKASI akan menyusun persiapan substansi maupun teknis menuju hari deklarasi.