Menunggu Normal Kembali
“Nah, kalau dilihat mah industri musik teh bakal normal lagi paling akhir setelah pangan dan sandang,” ucap Dudi – bukan nama sebenarnya – sembari menunjukan matriks grafik perkembangan berbagai macam industri di Indonesia yang dibuat oleh manajernya.
Menjadi seorang kru salah satu band indie yang tengah naik daun di belantika musik tanah air merupakan hal yang tidak disangka-sangka sebelumnya oleh Dudi. Yang ia tahu hanya dua hal: mencintai musik dan senang nongkrong. Karena baginya, musik dan nongkrong dapat membawa banyak berkah, selain menambah wawasan permusikan, ia dapat membangun relasi dengan banyak orang di berbagai acara musik.
Ia sangat sumringah saat mendapat tawaran menjadi kru dari road manager band tersebut. “Pas waktu itu ditawarin, si road manager teh bilang gini, “hayu mau ikut tur gak?” Gak banyak mikir langsung ambil aja. Rame euy jalan-jalan soalnya,” ungkap Dudi.
Tawaran itu datang saat para kru lainnya, yang sebagian besarnya masih menyandang status mahasiswa, harus kuliah dan menyelesaikan skripsi. Sementara Dudi yang sudah menyelesaikan studinya, tidak memiliki halangan apapun selain isi perut yang harus terisi. Singkat cerita, ia menjadi kru band tersebut. Status kerjanya freelance lantaran ia hanya menjadi kru cadangan apabila kru lain berhalangan hadir.
Meskipun hanya kru cadangan, Dudi tidak khawatir karena ia sudah memiliki pekerjaan tetap sebagai barista di salah satu kedai kopi di kota Bandung. Kala mendapat panggilan bertugas sebagai kru, tak lupa juga, ia selalu meminta izin kepada majikannya maupun band yang digawanginya supaya jadwal kegiatannya tidak saling berbenturan.
Dudi mengatakan, bayaran seorang kru band tidaklah besar. Sebelum menjadi kru band indie tersebut, Dudi memang sering membantu kawan-kawan sesama musisinya. “Dari gak dibayar sampe dibayar juga pernah. Kalau gigs kaya kampus gitu dikasihnya paling Rp 30.000 – Rp 50.000-an. Yang penting bisa maju babarenganlah sama temen-teman,”ujar Dudi saat saya temui pada Selasa, 16 September 2020.
Bersama band indie kesohor itu, Dudi menerima upah antara Rp 350.000 hingga yang terbesar berkisar Rp 700.000 atas jasanya merawat peralatan musik, mengangkut peralatan musik ke panggung, mengecek sound system, dan menjaga peralatan musik agar tidak hilang dalam sekali pertunjukan. Itu semua dilakukan agar pertunjukan dapat terselanggara dengan nyaman dan aman.
“Maintenance itu perlu banget, karena menyangkut image dari band itu. Kalau sound sama tata letak panggung jelek, nanti apa kata penonton,” lanjut Dudi.
***
Maret 2020, virus corona berubah statusnya dari endemik menjadi pandemik; artinya virus itu sudah menyebar ke seluruh penjuru negara di dunia setelah sebelumnya diketahui muncul pertama kali di Wuhan, China. Virus tersebut tak terkecuali sampai juga ke Indonesia. Seketika bumi seperti akan kiamat, pasalnya seluruh kegiatan ekonomi menjadi lumpuh, tak terkecuali sub-sektor industri seni pertunjukan. Para pemangku jabatan baik daerah dan pusat menutup wilayahnya masing-masing dan memberlakukan pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Akibatnya tak main-main, acara-acara musik banyak mengalami pembatalan yang berimbas pada pemasukan musisi, manajer, produser dan para kru yang menggantungkan hidup dari dunia musik.
Begitu pula Dudi, saat PSBB diberlakukan ia khawatir akan keberlangsungan hidupnya. Pada April 2020, kedai tempatnya bekerja mulai melakukan pemotongan upah dari asalnya Rp 2.500.000 dipotong menjadi Rp 1.300.000.
Pada pertengahan Maret 2020, Dudi terakhir menjadi kru dari band indie tersebut, saat itu sebuah brand rokok ternama mengundang band indienya itu untuk menjadi tamu pengisi acara konser virtual. Dari konser virtual, ia mengantongi upah sebesar Rp 700.000, selepas itu panggilan menjadi kru band urung datang menghampiri.
“Iya gimana lagi, kondisi pandemik gini pasti semua orang kena dampaknya lah,” ujar lelaki berusia 24 tahun itu.
Seiring jalannya waktu, para pelaku sub-sektor industri seni pertunjukan mencari celah agar kantung-kantung terisi pundi rupiah kembali. Mulai dari menggelar konser virtual bahkan salah satu media musik di kota Bandung menyelenggarakan charity atau konser amal bertajuk “Tribute To Crew”, yang mana nantinya uang donasi itu terkumpul akan dititipkan melalui manajer lalu diberikan pada kru-kru band yang mengisi acara. Secara kebetulan band tempatnya bekerja turut serta dalam acara.
“Kemarin ada acara itu (Tribute to Crew), temen-temen kru yang lain dapat. Sayangnya, saya gak bisa dateng. Tapi tidak apa-apa, yang penting mah yang lain dulu saja,” ungkap Dudi. Ia menambahkan bahwa seharusnya acara charity seperti itu diperbanyak supaya sesama musisi bisa saling membantu.
Band tempatnya menjadi kru bukan tanpa usaha, mereka menjual merchandise untuk menambal pemasukan band yang tergopoh-gopoh selama pandemi. Tentunya uang tersebut digunakan untuk membiayai kekosongan operasional, dan para kru di dalamnya.
Bak tersambar petir di siang bolong, bertepatan awal bulan Juli kemarin, Dudi dipecat oleh majikan di tempatnya bekerja. “Udah dari awal pandemik kabar-kabarnya bakal ada pemangkasan, eh pas bulan sekarang kejadian juga,” ujar Dudi.
***
Dudi melamun sejenak, lalu ia menatapi pepohonan rindang di warung kopi dekat kampus ITB (Institut Teknologi Bandung) tempat kami bertemu. Sambil menyalakan api rokok kreteknya, wajahnya kini agak tenang; setenang ia mengeluarkan asap dari mulut yang berwarna merah-kehitaman itu.
“Huftt, emang ruwet ya pandemik gini teh?” Dudi mengeluh.
“Ruwet gimana?” balas saya.
“Covid makin parah, cuan susah. Tapi sih semua orang lagi ngalamin kaya gini teh,” lanjutnya sembari sedikit terkekeh.
Sejak krisis covid terjadi, Dudi memang tidak keluar rumah kecuali untuk bekerja di kedai kopi. Namun, semenjak pemecatan terjadi dan tak ada panggilan menjadi kru, dirinya harus memutar otak untuk tetap memilki penghasilan.
“Bisa dapet rokok kretek gini teh udah mewah pisan,” tangan kanannya sambil menunjukan bungkus rokok kretek berwarna hijau tua pada saya.
Usai pemecatan, Dudi sempat beralih konsumsi dari rokok sigaret biasa menjadi tembakau lintingan yang harganya terjangkau, dan lebih awet. Biasa dalam satu hari ia menghabiskan satu bungkus rokok sigaret, kini dalam tiga hari ia menghabiskan tembakau linting 45 gram. Tetapi hal itu tak bertahan lama, kurang lebih satu bulan, ia menemukan rokok kretek dengan harga lebih murah.
“Akhirnya mah dapat juga rokok biasa yang harganya miring,” ungkap Dudi.
Bisa dibilang Dudi cukup beruntung, karena sejak jauh hari sudah memiliki usaha laundry sepatu yang dia promosikan kepada teman-temannya maupun lewat daring. Ia pun tak lupa mengajak kawan-kawan di lingkungan rumahnya untuk ikut berembug dalam usaha di bidang jasa tersebut. Selain membuka jasa laundry sepatu, ia dan kawan-kawannya juga membuka jasa laundry baju dan lain-lainnya.
“Jadi, bantu temen-temen juga yang kena PHK (pemutusan hubungan kerja) sama dirumahkan gara-gara pandemi. Yang penting mah bareng-bareng aja,” lanjutnya.
Meskipun keuntungan yang didapat tidak besar, menurut Dudi yang paling penting adalah bertahan dalam gempuran krisis covid yang entah kapan berakhirnya. Dengan keuntungan yang diperoleh, ia dan kawan-kawannya memberlakukan bagi hasil secara merata. “Pembagiannya 25% dari keuntungan yang didapat. Sekitar 2,5% untuk yang kerja, sisa 10% untuk kas atau operasional biar usaha tetep jalan dan berkembang.”
Dudi sempat pula mengikuti program pelatihan pra-kerja yang disediakan pemerintah, namun pada tahap awal tidak lolos seleksi. Hal itu membuatnya malas untuk mendaftar kembali. “Ah, da itu mah untung-untungan aja. Kalo dapat ya syukur gak juga gapapa, kan ada laundry sepatu,” tambah Dudi sambil tertawa.
Tak terasa waktu cepat berlalu, sekitar hampir dua jam kami berbincang-bincang, sore berganti menjadi malam. Di ujung perbincangan kami berdua, Dudi hanya berharap semoga situasi lekas membaik, tak hanya virus yang hilang tetapi kondisi ekonomi pun kembali normal.
“Yah pengen cepat normal lagi lah. Biar bisa kerja lagi, dapat panggilan lagi buat jadi kru band gitu. Yang paling penting mah pemerintah harus bener nanganin virus (covidnya),” tutup Dudi.
Harapan Dudi, dan banyak orang lain, tinggal harapan. Alih-alih memperbaiki situasi yang kian runyam, banyak kebijakan pemerintah yang tidak tegas. Komisi Pemilihan Umum (KPU), misalnya, justru mengizinkan peserta pilkada gelar konser musik di masa covid-19. Padahal di saat bersamaan, angka penularan covid makin meningkat tajam. Jalan untuk situasi menjadi normal masih jauh. []