Menggugah Keprihatinan Lewat Gambar Bergerak

Menggugah Keprihatinan Lewat Gambar Bergerak

Sam Ancoe Amar dan Zulkarnain Gobel barangkali hanya dua dari ratusan lebih pekerja film di seluruh Indonesia. Cerita berikut ini adalah sepenggal dari upaya mereka, pelaku kreatif di bidang audio-visual, menyiasati jerat dampak pandemi Covid-19.

Berjarak sekitar 1.605 kilometer dari ibu kota Jakarta, sebuah permukiman miskin di Kecamatan Mariso, Makassar, menggelitik kepedulian Sam Ancoe Amar. Satu dari wilayah permukiman di Mariso, cerita dia, terletak di antara jalanan kampung dan pesisir pantai. Warga lekat dengan kemiskinan, dengan denyut kehidupan bertumbuh dari bisnis peredaran narkoba.

Kondisi pandemi Covid-19 mengusik kenyamanan Sam, yang sebelumnya menjalani keseharian di Depok, Jawa Barat dan Jakarta. Semenjak terjadi pandemi, dia mencoba menjauhi episentrum penularan virus SARS-Cov-2 di seputaran Jabodetabek.

Awal Agustus lalu, dia lalu mencoba menggerakkan semangat rekan-rekannya di Makassar—asal tanah kelahirannya—untuk membuat karya positif dan inovatif. Label “kampung miring” yang distigmakan publik atas sebuah kampung di Mariso, lantas menjadi obyek video dokumenter Sam dan temannya sesama filmmaker. Film ini dijuduli Kampung Miring (Borderland).

Sam menjelaskan, sudah sejak lama kampung kecil di Mariso menjadi permukiman yang menyimpan kisah kelam warga bergulat dengan narkotika dan penyalahgunaan obat-obatan. Bagi Sam, persoalan ini tidak cukup mampu diselesaikan oleh warga kampung itu sendiri.

Dia menggambarkan, betapa banyaknya warga dari kalangan muda dan anak, baik laki-laki ataupun perempuan, di situ terlibat penyalahgunaan narkoba. Di sisi lain, sebagian komunitas religius dari warga setempat berusaha keluar dari kondisi buruk yang melilit kesejahteraan mereka akibat peredaran narkoba yang membuat candu.

“Para tetua dan remaja yang tergolong religius sudah mulai jengah. Kampung bergerak melawan ‘pandemi’ narkoba ini sebuah inspirasi bahwa ada sebuah gerakan sosial yang tidak terdeteksi,” kata Sam, saat dihubungi, Senin (21/9) lalu.

Selama ini, menurut Sam, isu penyalahgunaan narkoba di Makassar minim dalam mengungkap sisi perjuangan para penyintas atau pemakai narkoba yang ingin sembuh dan berhenti dari ketergantungan. Sementara kasus-kasus kriminalitas dan penangkapan pelaku penyalahgunaan dan peredaran narkoba di Makassar relatif tinggi.

Situasi tersebut, menurut Sam, semestinya tidak boleh terabaikan dari perhatian publik. Terlebih dengan tingginya volume pemberitaan mengenai pandemi Covid-19. “Warung narkoba di Makassar ini sebetulnya pandemi juga, dan ini menyerang segala lapisan sosial kehidupan,” ungkapnya.

Menggandeng Badan Narkotika Nasional Provinsi Sulawesi Selatan, Sam mengembangkan konsep produksi film pendek dokumenter yang bersifat informatif dan edukatif. Hal ini didasari temuan Sam dan tim produksinya mengenai fakta bahwa selama ini masyarakat banyak memandang keliru dengan pelayanan pendampingan yang disediakan BNN bagi kebutuhan penyintas.

Sebaliknya, kata Sam, lewat karya film ini BNN sekaligus dapat menyosialisasikan fasilitas terapi dan penanangan bagi warga yang ingin melepas jerat candu narkoba.

“Selama ini warga hanya mengerti kalau ditangkap polisi mereka akan membayar, padahal tidak. Apabila orang membutuhkan penanganan, bisa dapat terapi gratis, bila kita datang sebagai klien. Ini yang kami coba sosialisasikan (lewat film),” tuturnya.

Mencari celah kreasi

Dalam pelaksanaan produksi film ini, Sam meyakini kreativitas mereka lebih didasari keberanian menyebarkan keprihatinannya tentang lingkungan sosial mereka. Kendati kondisi sulit pandemi Covid-19, secara khusus berdampak pada kesulitan beraktivitas ekonomi secara normal, Sam yang juga bekerja sebagai dosen di Institut Kesenian Jakarta dan Politeknik Negeri Media Kreatif (Polimedia Kreatif) menggunakan kesempatan produksi film ini bagi kebutuhan pengajaran.

“Produksi film ini senafas dengan aktivitasku mengajar. Saya justru terbantu untuk memberikan bentuk pengajaran alternatif kepada mahasiswa. Saya bisa sambil live saat proses syuting, bicara tentang bagaimana sebuah proses produksi berlangsung,” tuturnya.

Dalam tim kecil yang berjumlah 7 orang, Sam melaksanakan syuting di lokasi sebuah kampung di Kecamatan Mariso. Mereka sempat merekam aktivitas dan mewawancarai warga kampung sebagai sumber informasi utama dokumenter.

Siasat dan adaptasi terus-menerus mereka lakukan, termasuk menyiasati aturan pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Kondisi PSSB mengharuskan sebagian besar dari kita lebih sering tinggal di rumah dan memandang layar ponsel masing-masing. Hal ini membuat konsep publikasi karya film mereka dikemas berupa seri-seri pendek dokumenter nonfiksi (miniseries documentary) dengan jalur penyiaran diutamakan via aplikasi komunikasi digital dan media sosial.

“Di era pandemi ini kita terdorong untuk tergantung pada smartphone. Kami akan kirim film ini per segmen,” ujarnya.

Keberanian Sam mendorong keaktifan rekan sesama penggiat audio-visual untuk tetap berkarya bukan tanpa alasan. Sam menyadari pentingnya sikap adaptif terhadap situasi sulit atau hambatan yang membayangi aktivitas di masa pandemi. Dalam perencanaan produksi film ini, dia mengajak rekan-rekannya sembari mengajak untuk tetap bersemangat.

“Saya tekankan kepada mereka kondisi bencana non-alam pandemi Covid-19 ini bukan untuk dilawan, melainkan diterima untuk disiasati,” katanya.

Pemikiran itu, kata Sam, berpangkal dari pandangan hidup para pelaut Makassar yang lebih akrab dikenal sebagai pelaut Pinisi. Sebagaimana pelaut Pinisi, kata dia, semestinya gelombang pandemi tidak direspons dengan melawan atau menantangnya. Sebaliknya, mesti disikapi dengan mengingat teladan falsafah nenek moyang pelaut Pinisi.

“Ketika meniti laut dengan perahu Pinisi, mereka (pelaut Pinisi) berkompromi, bernegosiasi dengan fenomena,” katanya.

Falsafah pelaut Pinisi tersebut dinamakan “tiba sebelum sampai”. Dia menjelaskan, setiap kondisi sulit dalam pelayaran selalu disikapi pelaut Pinisi dengan penuh perhitungan sebelum memulai perjalanan. (Pandangan ini disebut juga “tiba sebelum berangkat”, sebagaimana judul novel karya Faisal Oddang, novelis muda asal Makassar).

“Ini bukan sebuah kepercayaan diri, tetapi sebuah perhitungan yang panjang dari navigasi, membaca cuaca, juga segala urusan yang terkait perlengkapan. Semua dilakukan dengan persiapan dan penuh dengan pertimbangan,” tuturnya.

“Jangan meremehkannya, jangan punya kepercayaan diri berlebih, tetapi titik tengahnya kompromi dan negosiasi,” ungkap Sam.

Buah dari negoisasi dan kompromi itulah yang dia wujudkan dalam film dokumenter tentang perjuangan penyintas narkoba di sebuah kampung di Makassar. Topik ini berangkat dari riset praproduksi yang dilakukannya pada dua bulan pertama kasus Covid-19 menyebar di Indonesia (Maret–April). Selain menghimpun partisipasi rekan pekerja seni media rekam, Sam turut menarik kepedulian korban pecandu, penyintas, dan pengedar narkoba, beserta tokoh masyarakat dan lembaga Badan Narkotika Nasional Provinsi Sulawesi Selatan.

“Kami kumpulkan orang-orang yang mau terlibat produksi, lantas kita masukkan semacam kontranarasi terhadap Covid-19,” kata Sam.

Temuan mereka tergambar lewat karya yang siap tayang dalam waktu dekat. Ia menjadi saksi bahwa “pandemi peredaran narkoba” masih menjangkiti kehidupan sosial di Makassar jauh sebelum pandemi Covid-19 merebak. Melalui film ini, mereka menjadi sebagian kecil masyarakat yang tak tinggal diam, bergerak merespons situasi aktual.

Dililit ekonomi sulit

Kenyataan ekonomi yang sulit akibat pandemi Covid-19 dialami Zulkarnain Gobel, pekerja audio-visual yang tinggal di permukiman Todopuli Raya, Kota Makassar, Sulawesi Selatan.

Zulkarnain mengatakan, beberapa produksi film yang dijadwalkan melakukan pengambilan gambar pada Maret–Juni menjadi terhambat. Jadwal syuting project pembuatan film website series (webseries) juga sempat tertunda. Akibatnya, pemasukan dari rumah produksi yang diusahakannya, AIM Production, otomatis lesu.

“Sesudah di Makassar diberlakukan aturan PSBB dan penerapan new normal, kami baru bisa mulai syuting bulan Juni. Itu pun tetap harus ikuti protokol kesehatan,” ucap Zulkarnain, saat dihubungi, Kamis (24/9).

Dia melanjutkan, anggaran biaya untuk sebagian besar produksi film pun menjadi banyak dikurangi demi penghematan. Tidak hanya bagi kebutuhan operasional manajemen usahanya, pos pemasukan untuk setiap pekerja di dalamnya pun jadi berkurang drastis. Sebelumnya, di masa normal, biasanya mereka juga menggarap karya web series dan film layar lebar.

Pemasukan yang makin terbatas membuat Zulkarnain mau tak mau menyiasati dengan mengandalkan produksi video company profile dari beberapa klien perusahaan. Selaku salah satu produser film di Sulsel, Zulkarnain mengungkapkan, sumber daya ekonomi sebagian besar pekerja film di Makassar terdampak cukup parah.

Meskipun aktivitas produksi film kembali aktif awal Juli lalu, dia merasakan pemulihan kondisi ekonomi dan gairah perfilman Makassar berjalan sangat lambat. Mereka pun masih waswas dengan dinamika perekonomian yang belum pasti. Dia pun berusaha menghemat pengeluaran bulanan.

“Penghasilan saya 80–90% terpotong selama Maret sampai September. Paling cuma job kecil-kecilan, dalam sebulan hanya mengerjakan satu project,” ujarnya.

“Sebenarnya dengan menghemat saja enggak benar-benar bisa teratasi. Malah jadi menguras tabungan juga.”

Butuh sokongan pemerintah

Sebagai salah satu dari lima kota kota dengan jumlah kasus positif Covid-19 yang tinggi, di Makassar berlaku aturan PSBB. Kegiatan publik berbasis pengumpulan orang dalam jumlah besar dan berkerumun dilarang. Beberapa pelaksanaan pembuatan film di sekitar lima hingga enam bulan pertama pandemi menjadi terhambat. Zulkarnain sempat memutar otak untuk mengembangkan pos pemasukan lain. Dia lalu membuka usaha penyewaan peralatan syuting, seperti kamera, lensa, dan microphone.

Meskipun begitu, kata dia, penyewaan peralatan syuting tidak menyumbang tambahan penghasilan yang berarti. Dengan keadaan seperti itu, Zul mengharapkan pemerintah agar lebih mendukung penyediaan bantuan khusus bagi pekerja seni. Dia mengatakan, salah satu kebutuhan pelaku film di Makassar ialah kemudahan birokrasi terkait perizinan produksi film.

Dia juga menginginkan agar tenaga dan kreativitas para filmmaker di Makassar dapat lebih diberdayakan. Misalnya, didukung untuk dapat dijembatani pada peluang-peluang kerja sama bisnis yang menjanjikan.

“Kami memerlukan kehadiran pemerintah pusat atau daerah di Makassar supaya memberikan bantuan bagi production in house. Kami butuh bantuan untuk bisa survive,” tuturnya.

Selama ini, menurutnya, dukungan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Sulsel dan Pemerintah Kota Makassar masih terbatas. Sementara itu, Zulkarnain mengungkapkan dia cukup terhambat dengan ketentuan yang ditetapkan dari program bantuan yang ditawarkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud).

Dia menilai regulasi yang ditetapkan Kemendikbud terkait pengajuan bantuan bagi pelaku seni terdampak pandemi itu cukup rumit. Meskipun begitu, Zulkarnain menyambut positif sejumlah program fasilitasi berupa lokakarya daring bagi penggiat film yang diadakan pemerintah beberapa bulan yang lalu.

Dia mengharapkan, bila kondisi sudah normal seusai pandemi, pemerintah baik lewat Kemendikbud dan Pusbang Film maupun lembaga lain, dapat menggelar lokakarya atau pelatihan serupa.

“Supaya pekerja film di Jakarta yang sudah berpengalaman membuat film bertahun-tahun dapat membagikan ilmunya kepada kami,” katanya

SERIKAT PEKERJA MEDIA DAN
INDUSTRI KREATIF UNTUK DEMOKRASI

Jl. Tebet Timur I D No.1, Tebet, Kota Jakarta Selatan