Jejak Seabad May Day di Nusantara

Kelas buruh di Indonesia lahir bersamaan dengan masuknya hubungan produksi kapitalis lewat pembuatan rel kereta api, pelabuhan, infrastruktur telekomunikasi, serta kemunculan industri penghasil bahan mentah seperti gula dan karet yang dimiliki pengusaha asing sebagai dampak meluasnya kapital global.

Perjuangan kelas buruh Indonesia secara intensif terpengaruh langsung oleh perjuangan kelompok buruh dari Belanda. Pada perkembangannya kaum buruh Hindia Belanda memelopori kesadaran berorganisasi “secara modern” di tanah air dengan membentuk organisasi politik berhaluan kiri dan nasionalis. Salah satu organisasi yang berpengaruh adalah ISDV (Indische Sociaal-Democratische Vereniging) atau PSDH (Perhimpunan Sosial Demokrasi Hindia).

Hindia Belanda merupakan wilayah penting bagi kemunculan gerakan perlawanan buruh terhadap kolonialisme dan kapitalisme di Asia. Pada 1 Mei 1918, serikat pelaut Tionghoa yang bermarkas di Shanghai yaitu Kung Tan Hwee Koan menggelar peringatan Hari Buruh Internasional di Surabaya, yang oleh Majalah Historia disebut sebagai peringatan hari buruh pertama di Asia yang juga dihadiri perwakilan ISDV yang tersohor, Henk Sneevliet.

Lahirnya Oendang-Oendang Kerdja

Revolusi Kemerdekaan 1945 yang melahirkan negara Republik Indonesia membawa gairah berserikat bagi kaum buruh di tanah air. Semangat itu terlihat dari maraknya penerbitan pamflet, buku saku, dan terbitan lain tentang perburuhan.

Salah satu terbitan penting di awal masa kemerdekaan adalah buku saku setebal 50 halaman berjudul “Satu Mei: Hari Kemenangan Boeroeh Sedoenia” yang dibuat oleh penulis bernama Sandra. Dalam buku itu, Sandra menggambarkan perjuangan kaum buruh dalam pemogokan 1926-1927 sebagai upaya mewujudkan bukan hanya cita-cita kebangsaan berupa kemerdekaan dari penjajahan, namun juga pembebasan dari sistem kapitalisme.

Begitupun dengan buku karangan aktivis dari SOBSI (Sentral Organisasi Boeroeh Seloeroeh Indonesia) Adisoemarta berjudul “Revoloesi Nasional dan 1 Mei”. Adisoemarta menuliskan pembentukan Republik Indonesia merupakan “syarat yang baik sekali” bagi perjuangan buruh untuk “ke arah tujuan yang lebih tinggi”.

Perayaan Hari Buruh Internasional pada saat itu digunakan oleh kelas buruh Indonesia sebagai wahana mendukung kemerdekaan penuh negara muda Indonesia dan sekaligus mengajukan tuntutan sosial serta ekonomi buruh.

Peringatan Hari Buruh Internasional pada 1946 merupakan sejarah karena selain menjadi yang pertama bagi Republik Indonesia, tapi juga menjadi langkah awal pembentukan aturan hukum perburuhan yaitu Oendang-Oendang Kerdja. Produk hukum perburuhan pertama Indonesia itu lahir di tengah situasi ketidakpastian politik lantaran Belanda tidak mengakui proklamasi kemerdekaan 1945 dan ancaman agresi dari negara kolonial itu.

Kabinet parlementer yang dipimpin Sjahrir, lewat Menteri Sosial Maria Ulfah, mengeluarkan semacam surat edaran yang berisi dukungan perayaan 1 Mei. Dalam surat edaran itu, pemerintah mengimbau kantor dan perusahaan agar tetap membayar gaji bagi buruh yang merayakan 1 Mei serta mengizinkan dikibarkannya Bendera Merah di sebelah Bendera Merah Putih.

Dukungan ini bukan tanpa sebab. Beberapa pekan sebelumnya Barisan Boeroeh Indonesia menuntut kepada pemerintah agar 1 Mei dijadikan “Hari Raya” dan oleh karena itu semua sekolah serta kantor harus tutup supaya buruh dapat merayakannya. Selain itu, Menteri Sosial Maria Ulfah juga berpidato dalam perayan 1 Mei 1946 yang intinya pemerintah akan membuat sebuah undang-undang perburuhan “yang ditujukan kepada perbaikan nasib rakyat Indonesia seumumnya”.

Setelah satu tahun proses penyusunan akhirnya Oendang-oendang Kerdja pun lahir dengan empat pasal penting: batas usia anak yang boleh dipekerjakan adalah 14 tahun, buruh perempuan tidak wajib kerja pada hari pertama dan kedua haid, buruh mendapat hak istirahat tiga bulan bagi yang sudah bekerja enam tahun berturut-turut, dan hak libur pada 1 Mei. Undang-undang ini rampung di bawah kepemimpinan S.K. Trimoerti sebagai Menteri Perburuhan pertama di Indonesia, sekaligus menjadi yang paling “progresif” di Asia Tenggara saat itu. Misalnya soal 40 jam kerja tiap minggu yang jauh lebih singkat dari batas kerja di beberapa negara tetangga yaitu 44-48 jam kerja tiap pekan.

Haram di Orde Baru

Secara umum gerakan buruh terpuruk dari segi apapun pada masa Orde Baru. Gerakan buruh yang beragam pada masa Orde Lama diciutkan ke dalam satu serikat saja yang fungsinya dibatasi hanya mengurus pemenuhan kesejahteraan materiil anggotanya saja. Segala bentuk pembangunan serikat yang independen akan disikat habis penguasa dan militernya.

Gerakan buruh yang secara politik sangat berpengaruh bahkan sejak sebelum kemerdekaan dikebiri oleh kediktatoran Presiden Soeharto, sebuah ciri khas negara subfasis. Ingatan kolektif akan serikat-serikat buruh yang progresif mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia hilang tak berbekas di masa itu. Peran politik kelompok buruh, dan masyarakat sipil pada umumnya, hanya boleh disalurkan lewat satu partai berkuasa Golkar dan dua partai politik yang geraknya pun dikendalikan pemerintah.

Penghancuran gerakan buruh dilakukan dengan sistematis sehingga para buruh dibuat tak lagi bergerak atas perspektif kelas. Konsep “karyawan” dan “pekerja” dikenalkan untuk menggantikan “buruh” yang dianggap memiliki kesan negatif. Pendidikan perburuhan direduksi oleh pemimpin-pemimpin serikat hanya sebagai program yang bertujuan untuk mengindoktrinasi retorika dan kebijakan rezim semata.

Peringatan Hari Buruh Internasional di Indonesia kemudian dilekatkan dengan cap komunis. “Sejak 1967, perayaan 1 Mei diharamkan, walau tidak ada peraturan hukum yang menyatakan demikian,” tulis Jafar Suryomenggolo, peneliti dari Universitas Kyoto. Orde Baru, kata dia, menghendaki kepatuhan buruh lewat kontrol politik dan teror sosial, misalnya lewat pelarangan perayaan 1 Mei meskipun Undang-undang Kerja yang memberikan hari libur bagi buruh masih berlaku.

Secara bertahap dan sistematis gerakan buruh terus terdegradasi. Meski begitu, ada pula upaya melawan pelarangan perayaan Hari Buruh Internasional. Pada 1 Mei 1995 ketika Persatuan Rakyat Demokratik dan Pusat Perjuangan Buruh Indonesia mengorganisir Hari Buruh Internasional di Jakarta dan Surabaya, perayaan pertama di masa Orde Baru.

Pascareformasi

Pasca tumbangnya rezim otoriter, gerakan sosial termasuk buruh segera merasakan angin segar kebebasan telah berpuluh tahun direpresi. Peringatan Hari Buruh Internasional tak lagi dilarang. Serikat-serikat buruh baru bermunculan dan langsung memanfaatkan 1 Mei untuk menyuarakan tuntutan mereka.

Namun demikian, reformasi yang juga membawa lahirnya paket UU Perburuhan yang di antaranya adalah UU No 21/2000 tentang Serikat Pekerja / Serikat Buruh; (2) UU No 13/2003 tentang Ketenagakerjaan; (3) UU No 2/2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan industrial; (4) UU No 39/2004 tentang Penempatan dan perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri, dan (5) UU No 40/ 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Ketenagakerjaan, tak serta merta membawa peningkatan kesejahteraan dan keadilan bagi buruh.

Adapun aksi buruh dalam memperingati May Day yang terbesar pascareformasi bisa dikatakan terjadi pada tahun 2006, ketika seluruh elemen buruh menyatakan penolakannya atas revisi Undang-Undang No. 13 tentang Ketenagakerjaan yang dirasa akan semakin merugikan buruh. Dipelopori oleh Aliansi Buruh Menggungat (ABM), ratusan ribu buruh melakukan aksinya mengepung Istana Negara dan gedung DPR hingga akhirnya berhasil menggagalkan rencana revisi tersebut.

Bertahun berjalan, tuntutan buruh kepada negara terus berkembang. Pada 1 Mei 2010 ribuan buruh mengikuti longmarch dari Bunderan Hotel Indonesia menuju Istana Negara untuk menuntut pelaksanaan Undang-undang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan pengesahan Rancangan Undang-undang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Meskipun tuntutan ini tak bulat didukung semua elemen buruh, namun isu mengenai jaminan sosial ini menarik untuk dipelajari.

Dua tahun setelahnya tiga serikat buruh terbesar Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (KSBSI), dan Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) mengumpulkan ratusan ribu anggotanya dan mendeklarasikan Majelis Pekerja Buruh Indonesia (MPBI). Aliansi itu kemudian mengorganisir pemogokan nasional pada 3 Oktober 2012 dengan melibatkan dua juta buruh di 14 kawasan industri di Indonesia, menolak sistem kerja kontrak.

Mogok nasional kembali dilakukan oleh berbagai elemen buruh ketika pada 2015 mengeluarkan Peraturan Pemerintah No 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan yang menghilangkan peran serikat pekerja dalam menyusun upah.

Peringatan May Day pada era-reformasi secara umum mengalami ‘pertarungan’ di tingkatan serikat buruh sendiri. Pemerintah biasanya menggandeng berbagai serikat buruh untuk merayakan May Day dengan kegiatan yang mereka anggap positif seperti gerak jalan, mengadakan kegiatan panggung hiburan berhadiah, melakukan bakti sosial, donor darah, dan lain-lain.

Di sisi lain, serikat buruh progresif tetap menggunakan momentum ini untuk menyampaikan kritik dan aspirasi mereka atas kondisi perburuhan yang mereka rasakan. May Day sebagai seremonial dan penghargaan atas perjuangan sesama kaum buruh di Chicago pada tahun 1886 juga tak luput dikumandangkan pada tiap perayaan May Day.