Ekonomi Digital: Antara Ambisi Negara dan Kerentanan Pekerja (Bagian 1)
Sejak diperkenalkan dalam Design Expo 2007 oleh Kementerian Perdagangan Indonesia, sektor ekonomi berbasis kognitif yang diberi nama Ekonomi Kreatif terus didorong dan semakin digadang-gadang sebagai garda depan perekonomian Indonesia. Hal ini nampak dari diterbitkannya sejumlah kebijakan, seperti cetak biru Ekonomi Kreatif 2008, Keppres No.6/2009, unit kerja Kemenparekraf, hingga peresmian BEKRAF sebagai badan setingkat menteri di tahun 2015.
Ekonomi Kreatif disebut-sebut sebagai model ekonomi baru karena “berbeda dengan sektor lain yang sangat tergantung pada eksploitasi sumber daya alam, kekuatan ekonomi kreatif lebih bertumpu kepada keunggulan sumber daya manusia. Karya seni, arsitektur, buku, inovasi teknologi, dan animasi, berasal dari ide-ide kreatif pemikiran manusia”, alias bertumpu pada kognisi sebagai komoditas utamanya. Industri ini berfokus pada komoditas informasi, data, komunikasi, layanan, serta persepsi.
Sejalan dengan berkelindannya praktik ekonomi kreatif dengan penggunaan teknologi, narasi Ekonomi Kreatif mulai bergeser menjadi Ekonomi Digital. Industri berbasis teknologi termasuk internet kemudian menjadi narasi “baru” yang dijadikan garda depan perekonomian Indonesia. Istilah Revolusi Industri 4.0 yang sebenarnya marak di Eropa terutama Jerman dengan white paper-nya, berdampingan dengan Ekonomi Digital untuk dijadikan sebagai tulang punggung perekonomian.
Narasi-narasi ini diikuti dengan ambisi negara untuk menjadikan Indonesia sebagai pusat ekonomi digital Asia Tenggara pada 2030 dan menargetkan pemasukan sebesar 130 Miliar Dolar Amerika pada 2020 (prediksi valuasi bisnis 2020 RP 135,364 T) dan prediksi nilai transaksi 2020 Rp1,759 T. Making Indonesia 4.0 ditargetkan untuk meningkatkan PDB secara signifikan, kontribusi manufaktur dan menciptakan lapangan kerja. Dari sisi PDB, peningkatan pertumbuhan PDB riil diperkirakan akan naik dari 5 % menjadi 6-7 % pada periode 2018-2030. Making Indonesia 4.0 juga digadang-gadang membuka jumlah lapangan kerja akan naik dari 20 juta menjadi 30 juta lapangan kerja pada 2030. Kontribusi manufaktur terhadap PDB juga akan meningkat dari 16 % menjadi 25 % pada 2030.
Tak ayal, narasi yang terus didorong oleh negara untuk mendorong kemajuan ekonomi berbasis kognitif dan digital ini berputar pada (1) Kompetisi antar tenaga kerja yang berbasis hanya pada adaptasi dan kompetensi (terutama terkait penggunaan teknologi), pada praktiknya tidak didukung dengan pembukaan akses maupun infrastruktur yang inklusif dan berkeadilan; serta (2) Aktivitas pemantik investasi seperti deregulasi kebijakan, penundaan kebijakan yang diperlukan, serta aktivitas-aktivitas pendukung lain yang menyasar pada suntikan dana seperti pameran, seminar, modelling Silicon Valley lokal, dan sebagainya. yang berfokus hanya pada pemodal, alih-alih model ekonomi berkelanjutan dan pro-pekerja.
Pekerja Digital: Perangkat Cepat-Buang di Era Disrupsi
Di balik segenap optimisme yang digaungkan oleh pemerintah terhadap ekonomi tersebut, pekerja tetap menjadi ongkos tersembunyi yang harus menambal berbagai kekurangan dan ketidaksiapan di dalamnya. Pada kertas posisi yang diterbitkan oleh SINDIKASI pada Januari 2018, Ongkos Tersembunyi Ekonomi Digital: Realitas Pekerja dalam Menopang Masa Depan Ekonomi Negara, ekonomi baru ini berdampak pada dua hal besar: menyisihkan pekerja lewat teknologi dan memunculkan pekerja rentan yang baru.
Hal tersebut sejalan dengan yang diprediksi laporan World Economic Forum, Future of Jobs, bahwa peralihan teknologi kali ini akan melahirkan 2,1 juta lapangan kerja baru, sekaligus menghilangkan 7,1 juta yang lama. Pekerja di dalam sektor manufaktur, produksi, telekomunikasi, percetakan, dan perbankan merupakan sebagian sektor yang tercatat dalam kertas posisi SINDIKASI telah mengalami pelanggaran hukum dalam pemutusan kerja akibat otomatisasi yang tidak berpihak pada pekerja. Sementara, negara dan pemodal menggunakan alibi bahwa disrupsi teknologi justru melahirkan kesempatan pekerjaan baru. Argumen ini dipatahkan oleh kondisi kerentanan ketenagakerjaan yang justru mendominasi relasi-relasi kerja baru dalam ekonomi digital.
Pada kertas posisi tersebut, SINDIKASI juga menemukan bahwa disrupsi teknologi yang menuntut lahirnya pola-relasi kerja baru tidak sedang memberikan jalan keluar bagi pekerja. Para pekerja yang terpaksa beradaptasi untuk bisa bertahan dalam sistem disrupsi yang bersifat tiba-tiba, mengubah tatanan umum, dan menggantikan keseharian ini tidak memiliki jaminan perlindungan hukum yang mumpuni. Inilah konsekuensi dari sistem ekonomi ini menuntut kecepatan, kuantitas tinggi, dan multitasking dari para pekerja.
Persoalan ini terkait dengan ketidakjelasan atau bahkan ketiadaan kontrak kerja, yang berdampak pada normalisasi pengabaian pemenuhan hak-hak normatif pekerja, seperti kejelasan ikatan kerja, pembayaran gaji sesuai kontrak kerja dan upah minimum kota/daerah yang berlaku, hak cuti, upah-batas lembur, dan lainnya. Temuan-temuan permasalahan pekerja yang termuat dalam kertas posisi SINDIKASI bertambah panjang daftarnya seiring dengan pengaduan yang masuk sepanjang satu tahun belakangan ini sebagai satu-satunya serikat pekerja di Indonesia yang mewadahi pekerja ekonomi digital. Pengaduan yang masuk sebagaimana termuat dalam Catatan Setahun SINDIKASI 2018, antara lain:
Jenis Aduan | Jumlah Aduan | Keterangan |
Perselisihan hak | 6 kasus | Tidak dibayarkannya tunjangan hari raya, upah, dan kompensasi lembur |
Pemutusan hubungan kerja sepihak | 4 kasus | Hubungan kerja diputus tanpa melewati prosedur ketenagakerjaan |
Kondisi kerja yang buruk | 3 kasus | Jam kerja panjang (overwork) dan beban kerja berlebihan |
Ketidakjelasan standar upah | 2 kasus | Penetapan upah tanpa kesepakatan |
Dugaan pemberangusan serikat pekerja (union busting) | 1 kasus | Mutasi terhadap pekerja yang mengorganisir terbentuknya serikat pekerja |
Tak hanya itu, ketiadaan infrastruktur dan regulasi yang akomodatif bagi kondisi ekonomi 4.0 ini akhirnya menempatkan pekerja sebagai komponen paling mudah dibuang dalam rantai produksi. Narasi pembentukan startup atau perusahaan rintisan, misalnya, yang menciptakan para pemberi kerja baru belum tentu memadai dalam segi pemenuhan kewajibannya sebagai pemberi kerja. Sebagai salah satu dari 5 negara pemilik startup terbanyak di dunia (1.890 startup per September 2018), jumlah yang berhasil menjadi unicorn (valuasi di atas US$ 1 Miliar) hanya 4 di antaranya (perbandingan 1:500). Keterbatasan sumber daya finansial dari perusahaan rintisan tersebut, maka overwork, tenaga kerja fleksibel, ikatan kerja tetap yang cukup mustahil dipenuhi, serta pengaburan relasi kerja muncul sebagai sebuah kenormalan baru di era ekonomi ini. Banyaknya praktik pola-relasi kerja baru yang tidak lagi bisa terakomodir oleh UU Ketenagakerjaan No. 13/2003 yang berlaku saat ini menjadi sebuah peluang keleluasaan sendiri bagi para pemberi kerja untuk semakin menekan posisi tawar pekerja.
Fleksibilitas tenaga kerja menjadi satu persoalan utama yang dihadapi oleh pekerja di ekonomi digital. Para pekerja dalam ekonomi 4.0 ini dihadapkan pada kondisi kerja yang melampaui keterbatasan waktu dan tempat. Fenomena ini melanggengkan budaya overwork. Data Statistik dan Hasil Survei Ekonomi Kreatif, BEKRAF dan BPS (2017) menunjukkan 45,72% tenaga kerja ekonomi kreatif bekerja 35-48 jam seminggu dan 31,98%-nya bekerja lebih dari 48 jam seminggu. Selain itu juga membentuk atomisasi angkatan kerja. Dalam kondisi atomisasi, para angkatan kerja di ekonomi digital terpisah antara satu dan tidak melihat dirinya sebagai bagian dari kelas pekerja. Melihat dari anggota SINDIKASI bekerja yang mayoritas bekerja sebagai freelancer, mereka tidak memiliki ikatan pada pemberi kerja atau bekerja di perusahaan-perusahaan kecil diisi pekerja berkisar dari lima hingga 20 orang saja. Deformalisasi kerja menjadi praktik yang lumrah, dan jaringan antar pekerja menjadi konsep yang semakin asing. Bahkan, regulasi yang timpang seakan dijadikan syarat bagi “kemajuan” ekonomi digital:
Pemerintah diminta untuk dapat menciptakan regulasi ketenagakerjaan yang bisa mempercepat proses rekrutmen dan pemutusan hubungan kerja. Terutama aturan ini ditujukan untuk sumber daya manusia (SDM) yang terkait sektor ekonomi digital. Hal ini dibutuhkan untuk mengimbangi kecepatan perkembangan dan perubahan di sektor ekonomi digital ini.
Kondisi semacam ini diperparah latar belakang sosial politik dari mayoritas pekerja yang dijadikan sasaran dalam ekonomi baru ini: dengan surplus angkatan kerja yang akan terjadi pada 2030-2045—atau bonus demografi—ekonomi baru ini dinarasikan sebagai jalan keluar dengan menyasar pada para pekerja muda. Bagasi perspektif bawaan Orde Baru tersebut membuat para pekerja muda rentan dihadapkan pada gelembung-gelembung politik ekonomi sosial budaya (poleksosbud) sendiri dengan tidak menyadari dirinya sebagai buruh/pekerja—sehingga dianggap terlepas dari konsekuensi relasi antara pekerja dan pemberi kerja sehingga memperpanjang daftar pelanggaran ketenagakerjaan. Mereka juga terasing dari konsep serikat pekerja yang dapat menjadi jaring pengaman bagi para pekerja yang berada dalam kondisi rentan. []
Ditulis oleh Ellena Ekarahendy, Ketua Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (SINDIKASI)