Bagaimana Media Memberitakan Penolakan Omnibus Law

Sejak UU Cipta Kerja disahkan 5 Oktober lalu, gelombang penolakan terus meluas. Gerakan buruh, mahasiswa, pelajar, juga berbagai organisasi masyarakat sipil menyuarakan keberatannya terhadap Omnibus Law ini. Aksi protes yang merata di berbagai daerah ini dihadapi dengan represi negara dengan lebih dari seribu demonstran ditangkap. Berbagai kerusuhan serta penangkapan ini pelan-pelan menggeser fokus dari kontroversi Omnibus Law itu sendiri. Sejak disahkan sampai artikel ini ditulis (26 Oktober), publik belum bisa mengakses naskah UU yang final.

Dalam situasi chaotic semacam ini, kita tentu berharap media bisa menjalankan fungsinya. Tentu kalau kita mengacu pada peran normatif media dalam demokrasi, ia mestinya bisa mewadahi percakapan publik dalam isu-isu penting. Dengan media memberikan ruang yang lebar untuk diskursus publik, kita bisa terlibat percakapan dan pertukaran argumentasi yang sehat. Pada konteks Omnibus Law, sayangnya, kebanyakan media gagal menjalankan perannya dengan baik.

Kegagalan menjalankan peran dengan baik ini tidak hanya muncul pasca pengesahan Omnibus Law dan protes-protes yang muncul setelahnya. Problem ini sudah muncul jauh sejak Omnibus Law mulai muncul dalam percakapan publik. Riset Remotivi yang dirilis pada 20 Maret 2020 menyebutkan bahwa dalam isu Omnibus Law, media lebih banyak menjadi “humas pemerintah”. Riset Remotivi tersebut melihat pemberitaan Omnibus Law di 5 media yaitu Kompas.com, MediaIndonesia.com, Liputan6.com, Republika.co.id, dan CNNIndonesia.com.

Dari berita-berita yang dilihat, 52 % memiliki nada positif, 32 % netral, dan 16 % negatif. Artinya, media lebih banyak menggaungkan pesan-pesan dan narasi pemerintah serta tidak banyak memberikan porsi bagi kelompok-kelompok masyarakat sipil yang sejak awal menyuarakan penolakannya. Nada positif ini muncul dari banyaknya narasumber dari pemerintah dan DPR serta sangat sedikit dari pihak-pihak yang keberatan dengan Omnibus Law seperti dari serikat buruh.

Jika kita percaya bahwa demokrasi mensyaratkan percakapan yang sehat dengan pertukaran argumentasi yang baik, di media kita tidak melihat hal tersebut. Tidak banyak ruang yang diberikan kepada suara-suara kritis dari publik. Sayangnya, hal ini diulang lagi ketika Omnibus Law disahkan dan rangkaian gelombang penolakan muncul di berbagai kota.

Selama 1 minggu (6 – 12 Oktober) saya melakukan monitoring sederhana khususnya di halaman headline beberapa koran. Di antaranya adalah Kompas, Media Indonesia, Jakarta Post, Koran Tempo, Republika, dan Jawa Pos. Saya sengaja mengambil fokus pada headline karena meski tidak bisa digunakan untuk menilai sikap (politik) sebuah media terkait isu-isu tertentu, ia bisa menjadi indikasi prioritas yang diberikan oleh media. Dalam hal penolakan terhadap Omnibus Law pasca disahkan, melihat headline koran akan menunjukkan apa yang hendak ditonjolkan oleh media yang bersangkutan.

Yang segera terlihat dari halaman depan koran-koran tersebut berkaitan dengan dua hal. Pertama, dorongan untuk melakukan uji materi khususnya oleh pihak-pihak yang menolak undang-undang ini. Setidaknya ini bisa dilihat di Kompas, Republika, Media Indonesia tanggal 10 Oktober yang menggunakan pernyataan Jokowi yang mempersilahkan para penolak UU Cipta Kerja untuk mengajukan ke MK. Dorongan untuk ke MK ini juga bermasalah karena tidak memberikan ruang lebih dulu yang menjelaskan alasan kenapa UU ini ditolak sejak awal. Misalnya saja dari prosesnya yang bermasalah dan draft naskah yang bahkan sampai disahkan belum juga bisa diakses oleh publik.

Kedua, demonisasi terhadap demonstran di berbagai daerah. Demonisasi ini terlihat dari beberapa cara: menyebut demonstran sebagai calon klaster baru Covid-19, melakukan kerusuhan sehingga harus ditindak tegas, serta mendelegitimasi demonstran khususnya yang berasal dari kalangan pelajar dan pengangguran. Kita bedah satu per satu:

Menyebut aksi demonstrasi sebagai salah satu aktivitas yang potensial akan membuat klaster Covid-19 tentu saja secara teknis benar. Apapun aktivitas yang mengumpulkan banyak orang, dari Pilkada, pesta pernikahan, sampai aksi demonstrasi yang diikuti ribuan orang sangat mungkin memperparah penyebaran virus.

Yang tidak ditampilkan oleh beberapa media tersebut: mengapa sampai ribuan orang marah sehingga berani mengorbankan risiko untuk turun ke jalan bersama dengan ribuan orang di berbagai daerah? Tentu ini pertanyaan yang penting untuk dijawab karena menjadi alasan utama mengapa orang-orang sampai marah. Kemarahan orang-orang tidak bisa dimoderasi dengan aksi-aksi virtual.

Artinya, kalau kita mau melakukan analisis yang lebih jauh, yang perlu dipertanyakan adalah mengapa pemerintah dan DPR sampai perlu merasa buru-buru untuk mensahkan undang-undang yang berbulan-bulan sudah diprotes banyak pihak dan sangat berpotensi memicu aksi demonstrasi?

Masih terkait dengan potensi demonstran sebagai klaster baru ini, saya membaca beberapa media menulis berita bahwa polisi menggelar tes cepat terhadap peserta aksi dengan hasil beberapa demonstran reaktif. Artinya, kita bisa melihat dengan jelas framing bahwa jika kasus positif Covid-19 di Indonesia memburuk, salah satu pihak yang akan disalahkan adalah demonstran.

Selanjutnya terkait dengan kerusuhan. Hampir semua media yang saya baca menampilkan kerusuhan sebagai berita di halaman pertama. Ini terjadi pada headline 9 Oktober 2020, sehari setelah aksi besar-besaran di berbagai daerah. Sebagaimana kredo lawas bad news is good news, aksi kerusuhan dalam demonstrasi selalu menjadi resep yang menarik untuk diberitakan.

Sayangnya, tentu saja fokus pada kerusuhan punya dampak generalisasi atas keseluruhan peserta aksi. Padahal, dan pelan-pelan banyak bukti yang muncul, banyak pelaku kerusuhan tersebut bukan peserta aksi. Media Indonesia (9/10) misalnya menggunakan dua berita sekaligus untuk mendemonisasi demonstran yang berjudul “Demo Ciptaker Rawan Picu Klaster Baru” dan “Pemerintah Tindak Perusuh” di halaman depan. Tidak ada substansi penolakan dari para peserta aksi yang dimunculkan di sana.

Jika dilihat di berita-berita headline tersebut, yang terlihat cukup bersimpatik terhadap demonstran adalah Koran Tempo. Koran ini beberapa kali menampilkan tuntutan para penolak dan juga tindakan represi yang dialami. Meskipun bersimpati tetapi secara otomatis fokus pemberitaan juga jadi bergeser dari substansi penolakan yang muncul.

Demonisasi terakhir ada dalam bentuk delegitimasi terhadap peserta aksi khususnya yang merupakan pelajar dan pengangguran. Menariknya, pada tanggal 15 Oktober hampir semua media yang saya baca menjadikan foto pelajar yang ditangkap polisi sedang berpelukan terharu dengan keluarga yang menjemput mereka. Beberapa pernyataan yang ditonjolkan adalah bahwa pelajar ini menyesal dan keluarga khawatir sehingga mereka berharap anak-anaknya tidak ikut demonstrasi lagi di masa datang. Yang tidak dimunculkan dalam berita-berita tersebut? Tentu saja bagaimana anak-anak ini bisa ditahan begitu saja tanpa proses hukum yang memadai, bahkan yang ikut demonstrasi diancam akan sulit mendapatkan SKCK yang diperlukan untuk bekerja.

Luangkan waktu membaca berita-berita tersebut dan pesan yang segera tertangkap adalah para pelajar ini masih berada di bawah umur. Dengan demikian, bersama para pengangguran lain yang tertangkap, mereka tidak boleh untuk ikut menyampaikan pendapat. Ini tentu pesan yang aneh. Para pelajar adalah anak-anak muda yang nanti akan terdampak langsung oleh aturan Omnibus Law ketika mereka bekerja. Mendelegitimasi mereka tidak boleh ikut demonstrasi tentu alasan yang mengada-ada dan salah kaprah.

Beberapa narasi tersebut hanya penggalan sekilas saja apa yang nampak di koran-koran. Jika mau dicermati lebih serius sampai ke media online, ada banyak narasi yang salah kaprah dan berbahaya terkait penolakan Omnibus Law. Jika dibiarkan terus-menerus, pemberitaan semacam ini yang ikut membuat diskursus publik kita menjadi keruh. []

Wisnu Prasetya Utomo
Anggota Majelis Pertimbangan Organisasi SINDIKASI